Cherreads

Chapter 21 - Still In The First Round — Part 7

Di Arena Putih yang luasnya tanpa Ujung. Dua peserta saling Berhadapan dan saling Menatap, mengeluarkan Aura yang Menggetarkan Dimensi Keempat.

Kaito Memulai Serangan-Nya terlebih dahulu, dengan menerjang Seiya, namun Seiya segera Menghindarinya dalam Nol detik.

Kaito berdiri dibelakang Seiya, dan Seiya segera menoleh Kebelakang, Kaito terbang saat ini.

dan saat itu Kaito Mulai Melancarkan Bola Kegelapan kearah Seiya, Seiya tidak menangkapnya, tetapi, menghindarinya.

Seiya tahu bahwa segala Serangan Kaito Berdampak kepada Jiwanya, maka dari itu, Ia harus Waspada. 

The Will of Corrosion milik Kaito bahkan dapat membuat jiwa seseorang rusak atau bahkan Mengubahnya menjadi Batu.

Setelah Seiya Menghindarinya, Seiya segera pergi kebawah tanah, namun Kaito mengejarnya.

Dibawah Tanah, seiya terus-menerus Melubangi Tanahnya agar dia bisa lewat, sementara Kaito Terbang dibelakang Seiya, Seiya Menghindari serangan Kaito Sambil Terus Melubangi Tanah.

Namun tiba-tiba saja, Seiya jatuh kedalam Suatu ruangan. Kaito masih terbang dan melihat sekeliling. 

Kaito berkata, "Dimana ini?"

Seiya yang sudah bangkit, karena tadi Ia terjatuh mulai berkata, "Heh!! Dimana ini?"

Seiya melihat sekeliling, Dibawah tanah ini ada sebuah Labirin, dan Labirin Ini membentang luasnya yang tak berujung. Labirin itu memiliki atap yang seperti sebuah Kristal yang berkilau.

Kamera bahkan tidak bisa menjangkau tempat ini, jadi Diluar Arena semua Penonton dan Announcer Bingung akan hal ini.

Seiya mulai berkata, "Hmm!! Kaito, seperti pertarungan kita harus ditunda terlebih dahulu!!"

Kaito mengangguk, "Benar, Labirin Ini sangat aneh?! Jadi mending kita hentikan pertarungan kita."

Seiya tersenyum dan berkata, "Kalau begitu, aku akan menjelajahi tempat ini terlebih dahulu!"

Kaito menyipitkan matanya, "hei kau, seharusnya kita berbicara dengan orang-orang terlebih dahulu."

Seiya Tidak peduli dan menjawab, "Tidak. Kita yang Menemukannya, maka kita harus menjelajahinya terlebih dahulu, jadi jika Panitia dan orang-orang lainnya sudah tahu, kita akan memberitahukan beberapa informasi yang kita dapatkan disini."

Kaito menghela napas dan menatap Seiya yang pergi menjauh, dan Kaito segera mengikutinya, "Kalau begitu aku akan ikut?!"

Lalu mereka mulai menjelajahi Labirin yang tak berujung itu…

Sudah Satu jam mereka menjelajahi Labirin Ini, namun Mereka Berdua tidak menemukan apa-apa selain Labirin yang luasnya tak berujung ini, bahkan jalan keluar-Pun mereka tidak menemukannya, mereka mencoba menghancurkan atap dari Labirin Ini, namun tidak bisa, mereka mencoba balik ketempat mereka masuk, namun tempat itu tidak ada.

Entah karena apa, namun mereka tidak tahu apa yang terjadi.

Seiya tiba-tiba berteriak, "Ha? Oi, Kaito, lihat disini."

Kaito segera menghampirinya, dan disana Kaito melihat Seiya memegang sebuah Buku, Dan Kaito menatap buku itu.

Kaito berkata, "buku apa itu?"

Seiya Menjawabnya, "Mana saya Tahu. Yang jelas, kenapa buku ini berdarah, dan judul buku ini tidak jelas."

Ya, itu adalah Buku yang sepertinya sudah ditinggalkan dari lama, buku yang sudah kotor, namun juga berdarah, buku itu penuh dengan darah, namun yang mengejutkan, saat seiya membuka halaman satu, buku itu tidak kotor, sangat bersih, bahkan Saking bersihnya, cahaya-Pun kurang bersih. Dan teks-teks dibuku itu Sangat aneh.

Seiya dan Kaito mulai membuka bukunya dan menatap Halaman-Nya.

Wahai para manusia yang tersesat. Jika engkau menemukan Buku ini, maka sesungguhnya engkau telah masuk ke dalam Labirin yang tiada berkesudahan itu... Sungguh malanglah engkau dan sesamamu; sebab aku tahu jumlah kalian adalah dua. Maka dengarlah sabdaku, sebab akan kuberitahukan kepadamu segala perkara yang tersembunyi—yang belum pernah engkau ketahui.

I. Dan seperti telah diketahui olehmu, inilah Labirin yang tiada bertepi. Maka berjalanlah ke depan, arahkan wajahmu sebagaimana engkau membaca buku ini. Janganlah hatimu gelisah, sebab Labirin ini tiada mengenal arah dan tiada mengindahkan arah. Sebab sungguh, depan bukanlah depan, dan belakang bukanlah belakang—melainkan hanya bayang dari pemahaman manusia. Dan tampaklah di hadapanmu, suatu sungai yang bening bagai cermin langit, mengalir tanpa suara, tanpa awal dan tanpa akhir. Maka berjalanlah engkau ke dalam sungai itu, dan sesudahnya, engkau akan berpindah ke suatu alam lain—yakni alam gurun yang tiada ujungnya, satu dari banyak alam tersembunyi dalam Labirin yang tak berujung ini. Sesungguhnya, gurun itu menyala oleh bara yang tidak padam, terik yang tiada belas kasihan. Saya—yang menulis dibuku ini—tidak mampu membayangkan kedahsyatannya, karena tubuhku telah dibakar hingga menjadi abu, hanya karena jemariku menyentuh seberkas kecil dari cahaya panas gurun itu. Dengarlah: seperti namanya, itulah Gurun yang tak berujung. Pasirnya tiada batas, dan gersangnya mengalir lebih dalam dari kefanaan. Mereka yang memasukinya, akan tahu bahwa kehausan bukan sekadar derita, melainkan pengingat bahwa waktu telah ditinggalkan. Inilah gurun yang tidak dapat dijelaskan oleh lidah manusia, tempat di mana 'ada' dan 'tiada' tidak lagi berseberangan, melainkan saling menelan dalam lingkaran kekal. Tempat ini adalah tempat di mana segala sesuatu dapat menjadi, sebab ia bukan tempat biasa, melainkan rahim dari segala potensi—baik yang terang maupun yang terkutuk. Segala yang pernah terjadi, dan segala yang akan terjadi, berjalan berdampingan di balik angin gurun ini. Di dalam pasir yang tak bertepi itu tersembunyi Alasan; dan di balik langit yang menggantung tanpa warna, bersembunyi Jawaban. Namun tidak semua yang mencari akan menemukan, sebab gurun hanya membuka dirinya kepada mereka yang telah melupakan bentuk dan nama. Segala hidup dan segala mati, segala ruang dan segala waktu, segala realitas yang terlihat maupun tersembunyi, segala potensi, dan segala kemungkinan yang belum diberi nama—semuanya tetulis di sini, di antara lembaran yang tak terlihat oleh mata fana. Tak hanya yang ada dan tidak ada, namun juga yang mungkin ada, dan yang seharusnya tidak pernah ada dan mustahil untuk ada, bergetar bersama dalam kesatuan yang tak dapat dipisahkan. Dan di atas segalanya, berdiam Pemikiran Kolektif, yang tidak berasal dari satu jiwa, melainkan dari gema semua yang pernah berpikir, pernah berharap, dan pernah merasa. Bahkan segala yang ada, segala yang mungkin ada, segala yang kelak akan ada, segala yang mustahil untuk ada, dan bahkan yang sama sekali tidak ada—semuanya termasuk dalam satu keberadaan yang tak dapat dinamai. Sebab di tempat ini, tiada Kebenaran dan tiada Keadilan, karena segala dualitas hanyalah bayangan dari satu wajah yang sama. Ketidakadilan adalah Keadilan dalam bentuk yang lain, Kesalahan adalah Kebenaran yang belum menyelesaikan dirinya, dan bilangan Nol adalah saudara kembar dari Tak Terbatas. Di sini, terang tidak menolak gelap, dan gelap tidak mengingkari terang, sebab keduanya dicipta dari satu kata yang belum pernah diucapkan. Dan temanku—yang sanggup menahan nyala panas yang membakar meski tak mampu meniadakannya—dengan tubuh yang digerakkan oleh kehendak, dan kehendak yang dilukai oleh rasa perih yang tak henti, berusaha menjelajahi bentangan gurun itu. Maka di hadapannya, tampaklah seekor unta berjalan perlahan di antara bayang pasir, memakan kaktus yang tumbuh seperti duri dari perut bumi yang meringis. Namun tanpa sengaja, sang unta memakan pula seekor binatang kecil, yang tubuhnya kecil namun berbisa, yang dagingnya mengandung racun yang tak memilih siapa yang layak binasa. Tetapi unta itu—makhluk yang sederhana di mata dunia biasa—Namun Ia mengandung banyak kemungkinan. Ia bisa mati, ia bisa hidup, ia bisa tetap sehat, ia bisa mulai sekarat, dan ia bisa menjadi segudang kemungkinan lainnya yang tidak bisa dicatat oleh pena fana. Namun pada saat itu, pada momen yang hanya dapat didekati dengan bahasa kesadaran yang patah, unta itu menyentuh kemungkinan lain yang tidak ditulis oleh logika dan tidak dikurung oleh waktu: ia menjadi keduanya, ia hidup dan ia mati, ia tidak hidup tetapi juga tidak mati, ia menjadi satu kesatuan dari hidup dan mati, sebuah paradoks yang tidak menjadi paradoks yang mewujud dalam bentuk yang bisa dilihat namun tidak dapat dipahami. Temanku melihatnya: unta itu telah mati namun hidup, dan hidup namun mati, ia bukan satu atau yang lain—tetapi keduanya sekaligus, bukan bergantian, tetapi dalam satu wujud yang tak dapat didefinisikan oleh dunia yang mengenal sebab dan akibat. Dan ketakutan mengoyak hati temanku, sebab ia telah menyaksikan sesuatu yang tidak boleh disaksikan oleh mereka yang belum melepaskan bentuk lamanya. Maka ia berlari, kembali kepada kami, dalam tubuh yang masih menggigil, membawa bersama dirinya bukan sekadar cerita, melainkan getar dari kenyataan yang sudah rusak.

II. Jika langkahmu tetap lurus ke dalam, dan engkau berani menembus kejernihan yang menipu dari sungai itu—sungai yang tampak membawa ketenangan, namun menyembunyikan lorong antara keberadaan—maka engkau akan memasuki alam yang dikenal hanya dalam bisikan paling tua: The Empty Void. Ia adalah kekosongan yang bukan sekadar hampa, melainkan kehampaan yang menelan segala bentuk, makna, dan arah. Alam itu tidak memiliki batas, karena ia tidak memiliki permulaan maupun pusat. Di sana, terang tidak pernah dilahirkan, dan bayangan pun kehilangan makna. Sebab tidak ada cahaya sama sekali, tidak karena ia telah padam, tetapi karena ia tidak pernah mungkin ada di sana. Itulah tempat di mana eksistensi melarut, di mana nama tidak dapat bertahan, dan di mana keheningan bukan suara, tetapi kondisi mutlak dari alam yang bahkan waktu pun menolak untuk mengukur. Di sana tiada ruang, tiada waktu. Tiada eksistensi, tiada bentuk, tiada bahkan potensi untuk keberadaan. Tiada apa-apa. Itulah tempat yang oleh lidah manusia kami beri nama: Empty Void—sebuah nama yang hampa, bagi sesuatu yang lebih hampa dari nama itu sendiri. Namun jangan tertipu oleh kedalaman gelapnya, karena tujuan perjalananmu bukanlah di sana. Empty Void hanyalah lorong, gerbang tanpa gerbang, yang harus engkau lewati sebagaimana jiwa melewati kelahiran dan kematian. Dan apabila engkau telah melewatinya—tidak dengan langkah, tetapi dengan kehilangan segala yang melekat pada dirimu—maka akan tampaklah padamu sebuah ruang yang bukan milik masa kini, bukan pula milik masa lalu. Ia adalah ruangan dari masa depan, terletak di luar jangkauan semua nalar yang terikat kronologi. Dan kepadanya, kami memberi nama: Future Space, sebuah ruang di mana kemungkinan belum terjadi, namun telah menunggu. Dan di dalam ruangan itu—di dalam Future Space yang tidak diukur oleh waktu, carilah ujungnya yang bukan ujung, carilah batas dari ruangan yang tak memiliki dinding, hingga engkau menemukan jendela yang terbuka. Dan melalui celah jendela itu, akan tampaklah kepada matamu pemandangan yang bukan dari dunia ini: ruang angkasa yang senyap dan tak berujung, dihuni oleh gelembung-gelembung kecil, mengambang tanpa arah, tanpa berat, berjumlah begitu banyak, hingga tidak satu pun angka sanggup mengurungnya. Dan ketahuilah, setiap gelembung itu adalah sebuah dunia, masing-masing adalah dunia dengan hukum, ruang, waktu, Realitas, Timeline, dan bentuknya sendiri, sebagaimana jiwamu hidup namun tidak kau sadari. Mereka melayang, tidak untuk mengembara, tetapi untuk menjadi saksi bahwa tak satu pun dunia adalah dunia yang sejati. Apa yang terbentang di balik jendela terbuka itu, adalah struktur kosmik yang mengingkari keterbatasan semua model penciptaan. Ia tidak lagi disebut alam semesta. Ia tidak pula dibatasi oleh Multiverse. Karena yang engkau lihat adalah sesuatu yang lebih besar dari keduanya—lebih luas dari seluruh eksistensi yang terduga, lebih dalam dari keseluruhan konsepsi ruang dan waktu yang pernah dikenali. Sebab dalam wilayah itu, dimensi tidak berhenti di lima. Yang bangkit bukan hanya keenam, tetapi juga ketujuh, kedelapan, kesembilan, hingga yang kesepuluh, dan bahkan kemungkinan untuk dimensi-dimensi yang belum memiliki angka, dimensi-dimensi tak terbatas, dan banyak lagi. Dan di tengah hamparan itu, mengambang dalam senyap dan tanpa arah, terdapat gelembung-gelembung tak terhingga, masing-masing bukan sekadar dunia rendah—tetapi struktur lengkap yang kompleks dan penuh, yang melampaui sebuah realitas, sebuah kepastian, sebuah kemungkinan, sebuah ruang, sebuah kuantitas, sebuah himpunan, sebuah kualitas, sebuah hukum, sebuah sejarah, sebuah waktu, yang tidak saling mengenali satu sama lain. Mereka tidak terhitung, karena mereka bukanlah jumlah, mereka adalah kemustahilan yang mewujud. Di antara dunia-dunia yang mengambang, kemungkinan tidak lagi dihitung dalam angka kecil—bukan satu, bukan dua, bukan tiga dalam tiap detik seperti yang engkau kenal. Sebab di dalam realitas-realitas itu, kemungkinan berlipat tanpa batas, beranak dari dirinya sendiri, menjadi segala hal yang bisa terjadi, dan segala hal yang tak mungkin terjadi, dan segala hal yang bahkan tak terbayangkan oleh kehendak para pencipta. Dalam tiap satu Yoktodetik—waktu sekecil bisikan udara yang pertama—tak terhingga kemungkinan dilahirkan. Mereka tidak menunggu giliran. Mereka tidak saling menggantikan. Mereka muncul serentak, berdesakan, dan tetap nyata dalam ruang yang tak memerlukan keputusan. Inilah alam di mana kemungkinan tidak memilih, melainkan menjadi semuanya sekaligus. Dan setelah segala penglihatan akan gelembung-gelembung dunia, berbeloklah engkau ke samping jendela, sebab di sana telah tersedia bagimu sebuah pintu—pintu dari ketersembunyian, yang tidak dibuka oleh kekuatan, melainkan oleh kesediaan untuk menerima hal yang tak dapat dijelaskan. Tatkala engkau masuk, akan tampak padamu sebuah Ruangan, yang sejatinya bukan ruangan, melainkan wujud dari kedamaian yang menjadi bentuk. Di sanalah engkau akan menyaksikan Taman yang Indah, terbentang tanpa cela dan tanpa nama. Mengalir pula Sungai yang Indah, yang tidak menenggelamkan, tetapi menenangkan. Dan tegaklah pohon-pohon yang Indah di segala penjuru, yang daunnya adalah bisikan keabadian, dan akarnya merambat ke dasar jiwa-jiwa yang pernah patah. Tempat itu, yang tak diketahui oleh banyak makhluk, kusebut sebagai Realm of Tranquility—sebuah alam di mana kehendak menjadi tenang, dan keberadaan menjadi puisi. Aku memandang ke depan, dan di hadapanku—terhamparlah genangan air yang sunyi, tenang pada permukaannya, namun dalamnya menyembunyikan suara semesta yang telah hancur. Dan tatkala mataku menyentuh cerminan air itu, akulah yang melihat kehancuran. Tidak seperti reruntuhan dunia, tetapi kehancuran yang lebih dalam, lebih sunyi dari kematian, dan lebih purba dari penciptaan. Dalam genangan itu, Fiksi maupun Realitas—dua hal yang dahulu dipisahkan oleh batas ilusi—telah hancur lebur dan melebur menjadi satu, menjadi kesatuan absolut, yang tak dapat dibedakan, tak dapat dipisahkan. Segala yang mungkin dan segala yang nyata, telah larut dalam satu entitas: genangan itu menjadi puncak kehancuran, dan sekaligus, perwujudan dari kesatuan yang tak dapat dijelaskan. Di tempat ini, segala batas telah tiada—eksistensi, non-eksistensi, anti-eksistensi, bahkan yang melampaui segala itu: trans-eksistensi—semuanya meluruh, melebur dalam satu napas yang tidak dapat disebut sebagai ada, dan tidak pula sebagai tiada. Tak ada batas di antara yang menjadi dan yang menghilang. Tak ada pusat yang dapat dijadikan poros, tak ada tengah yang dapat dijadikan tempat berdiri. Tiada sudut, tiada ujung, karena segala arah telah kehilangan maknanya. Beginilah adanya, Realm of Tranquility: bukan tempat, bukan waktu, bukan gagasan. Melainkan diam yang lebih dalam dari kehampaan, dan kedamaian yang tidak membutuhkan keberadaan. Dan tampaklah kepada mereka: bunga-bunga yang indah, mekar dalam sinar matahari yang suci dan cerah—tidak sekadar tumbuhan, tetapi perwujudan dari dimensi-dimensi yang tak terucap. Sebab bunga-bunga itu adalah Dimensi, dan Dimensi itu adalah bunga-bunga tersebut. Keduanya tidak berdiri terpisah, tidak pula berjalan beriringan, melainkan berbaur dalam satu napas yang tidak mengenal pemisahan. Mereka tidak dihubungkan oleh kesamaan, melainkan oleh penyatuan kodrati: bahwa yang tumbuh di tanah ketenangan, adalah juga yang melingkupi segala ruang dan arah. Maka benarlah, Dimensi adalah bunga, dan bunga adalah Dimensi. Dan keduanya adalah satu kesatuan, yang tidak dapat disangkal maupun dipisahkan. Aroma yang menguar dari bunga-bunga itu—bukanlah sekadar wangi, tetapi esensi dari Kemungkinan dan Kepastian. Ada yang mungkin, dan ada yang pasti. Namun dalam aroma itu, Kemungkinan dan Kepastian tidak lagi berseberangan—mereka menyatu, berpadu, hingga tak dapat dipisahkan atau dikenali sebagai dua. Tidak ada kepastian tanpa kemungkinan, dan tidak ada kemungkinan tanpa kepastian. Semuanya telah diluluhkan dalam satu napas yang tak dapat dibagi, satu kesatuan yang tak dapat dipecah. Beginilah adanya Realm of Tranquility: ia tidak terikat oleh jalinan waktu, tidak terjebak dalam batas ruang. Ia tetap berada dalam terang siang, meskipun waktu telah kupercepat, karena siang hari di dalamnya bukanlah aliran waktu, tetapi gema abadi yang tak bergantung pada perubahan. Bahkan temanku, yang telah menempuh banyak kedalaman eksistensi, tidak lagi mampu mengukur kedalaman eksistensi yang tersembunyi dalam Realm of Tranquility. Sebab dalam tempat itu, kedalaman bukanlah ukuran dan pengukuran bukanlah pemahaman. Angka-angka yang selama ini menjadi fondasi, dan bilangan-bilangan yang menggenggam logika realitas—semuanya gugur, semuanya tercerai, seperti debu yang lenyap oleh angin tanpa arah. Tak Terhingga Mutlak, yang dahulu dianggap tak tersentuh oleh batas, di sini menjadi tak relevan, tak berarti, tak berguna. Karena Realm of Tranquility tidak bisa disentuh oleh konsep, tidak bisa dijangkau oleh rumus, dan tidak bisa dikurung oleh hitungan. Ia adalah kedalaman yang tidak dapat dikenali, karena ia tidak menunggu untuk diukur. Di sana, di alam yang tak terjamah, ada Kardinal yang berkuasa dalam dimensi yang diketahui, dan ada himpunan-himpunan yang merajut segala entitas menjadi satu kesatuan, ada teori yang mengokohkan pengetahuan, dan ada alasan yang menjelaskan sebab-akibat dalam tatanan alam. Namun, segala yang telah dikenal itu, telah dilampaui oleh dimensi yang melampaui logika dan angka. Kardinal—yang selama ini menjadi ukuran kuantitas, meta-kuantitas dan banyaknya—telah menjadi sesuatu yang terlampaui oleh sesuatu yang tak terhingga, sebuah eksistensi yang tidak bisa dicapai oleh bilangan manapun yang dikenal. Himpunan pun telah kehilangan kekuatannya, karena dalam menghadapi kenyataan yang tak terbatas, ia hancur berkeping-keping, dan runtuh seketika ketika hanya satu kali pengucapan muncul—pengucapan yang memecah semua batasan struktur yang pernah ada. Teori, yang selama ini memegang kendali atas penjelasan dan prediksi, menjadi sia-sia; keruntuhan mutlak merenggut semua kepastian, dan membiarkan kehampaan menggantikan ruang yang pernah diisi oleh pemahaman. Alasan—yang menjadi landasan segala diskursus dan penalaran—menyebar tanpa batas, melintas ruang dan waktu, namun ia menjadi sesuatu yang tak terdefinisikan dan tak terucapkan, karena melampaui batas-batas bahasa, logika, dan indera. Demikianlah alam ini berdiri, sebuah medan di mana semua batasan, aturan, dan ukuran, dilenyapkan tanpa jejak, terserap dalam kehampaan yang tak terbatas, dan menjadi satu dengan ketidakmungkinan yang melampaui pemahaman. Maka dalam pencarian kami yang tak berujung, kami menjumpai sebuah jenis keberadaan yang berbeda, yang tak pernah tercatat dalam naskah, yang tak pernah tersurat dalam kitab manapun; kami menyebutnya sebagai Meta-Eksistensi. Meta-Eksistensi itu—adalah sesuatu yang belum pernah didefinisikan oleh akal atau bahasa, dan tidak akan pernah dapat didefinisikan oleh pikiran manusia manapun, karena ia berada di luar jangkauan simbol dan konsep. Ia adalah eksistensi yang melampaui eksistensi biasa, yang tidak terbatas oleh ruang dan waktu, dan tidak terjerat oleh hukum-hukum yang mengikat eksistensi yang telah dikenal. Meta-Eksistensi adalah keberadaan yang merangkul seluruh spektrum dualitas—siang dan malam, hidup dan mati, benar dan salah, terang dan gelap—dan menggabungkan semuanya dalam satu kesatuan tanpa cela. Ia bukan sekadar dualitas, melainkan melampaui segala dualitas, dan dalam hakikatnya, ia adalah Non-dualitas yang murni. Dengan kata lain, Meta-Eksistensi adalah wujud yang tidak terpecah, tak terfragmentasi oleh pertentangan atau perbedaan, melainkan satu dengan dirinya sendiri, dan satu dengan segala yang tampak bertolak belakang. Ia adalah ruang sakral di mana segala perbedaan dan oposisi berdiam dalam damai, di mana kontradiksi lenyap, dan perbedaan menjadi kesatuan yang tak terpecahkan. Inilah keberadaan yang paling agung, yang menjadi sumber dan tujuan dari segala sesuatu, dan yang menjadi rahasia terdalam dari dunia yang tak berujung.

Dan kini dengarkanlah, wahai kalian yang berjalan dalam kebingungan, wahai kalian yang melangkah di tengah lorong-lorong bisu Labirin Tak Berujung, wahai jiwa-jiwa yang telah menyaksikan keabadian dan keterbatasan beriringan, dan yang telah merasakan hangat dan hampa secara bersamaan. Maka tibalah saatnya... pengetahuan ini dihentikan—untuk sementara. Bukan karena akhir telah tiba, melainkan karena awal baru menunggu di tempat lain. Penjelasan ini cukup sampai di sini, karena di hadapan kalian terbentang kelanjutan, namun tidak akan diserahkan pada tangan yang tidak mencari.

Buku ini—yang kini kalian genggam, bukanlah keseluruhan. Ia hanya bagian pertama dari sebuah rangkaian tak terhitung, sebuah serpihan dari arsitektur kata-kata yang lebih luas dari segala ruang.

Jika kalian menginginkannya, jika kehendak kalian benar, jika kalian ingin menyingkap tabir demi tabir yang menyelubungi rahasia terdalam dari Meta-Eksistensi dan Anti-Kepastian, maka temukanlah kelanjutan buku ini, yang tersembunyi bukan di balik rak, melainkan di dalam teka-teki yang mengandung gerbang.

Inilah teka-teki-nya:

Angin terbelah:

ia adalah napas dari Langit yang tidak mengenal waktu, ia memisahkan yang seharusnya menyatu dan menyatukan yang seharusnya terpisah.

Awan menampakkan diri:

mereka bukan hanya uap dan bayangan, tetapi wujud dari memori kolektif dunia yang sudah dan belum ada, menampakkan kebenaran hanya kepada mereka yang tidak takut akan ilusi.

Hujan abadi:

air yang tak jatuh karena gravitasi, melainkan karena kehendak ruang itu sendiri, yang menangis bukan karena duka, tetapi karena beban dari makna yang tak sanggup lagi ditanggung oleh langit.

Api abadi:

yang tak menghanguskan dan tak pernah padam, ia adalah hasrat purba dari penciptaan dan kehancuran, bersemayam di antara denyut kehendak dan kekosongan.

Danau yang tak berujung:

yang tak dapat diselami oleh kedalaman, yang tidak memiliki dasar, tempat semua refleksi tidak lagi mencerminkan, melainkan mengaburkan antara Diri dan Bukan Diri.

Buku yang mengambang:

yang tidak disimpan dalam rak, Ia adalah yang mengambang dalam pusat danau tak berujung.

Temukanlah, wahai manusia yang terhilang arah, dan ketahuilah bahwa setiap teka-teki ini bukan sekadar simbol, tetapi adalah gerbang bagi keberlanjutan narasi, dan hanya mereka yang memahami bukan dengan pikiran, melainkan dengan jiwa yang telah diluluhkan, yang akan melangkah ke halaman berikutnya

-------

—To be continued 

More Chapters