Terlihat seorang perempuan dengan pakaian kumuh sedang berdiri di depan tumpukan buku-buku lama. Itu bukan buku yang hendak dibuang melainkan buku yang hendak dibakar karena berisi informasi berbahaya jika dibaca oleh orang luar.
Tak jauh dari sana terdapat truk pengangkut barang yang oleng memasuki jurang.
Sebagai seorang pengemis tentu perempuan itu akan mengambil beberapa buku dan menjualnya kembali walau itu membahayakan negaranya sendiri. Lagi pula dia tidak bisa baca tulis bahasa asing.
Ia pun mengambil sekitar 20 buku acak lalu berlari menjauhi jalan raya yang berada di dalam hutan tersebut dan menuju ke gua tempatnya tinggal. Hari sudah malam dan para pemilik miracle akan muncul.
Di dalam gua, perempuan itu memandangi satu persatu buku yang tulisannya tidak ia mengerti. Sampai ia membuka satu buku terakhir yang memiliki tulisan jenis lain.
Itu rupanya buku untuk membaca tulisan kuno. Karena tak ada hal lain yang harus dilakukan perempuan itu pun mulai membaca buku setebal 700 halaman tersebut dalam satu malam.
Beruntungnya, di esok pagi perempuan itu mulai bisa membaca beberapa buku dengan tulisan kuno yang lain.
Entah karena terlalu bersemangat atau apa, perempuan itu telah melupakan tujuan awalnya untuk menjual kembali buku-buku tersebut.
Ia pun mulai membaca satu buku yang memiliki sampul seorang raja berambut putih dengan mahkota serta pedang berdarah.
Butuh waktu yang cukup lama bagi perempuan itu untuk memahami isi buku tersebut.
Satu orang. Raja. Memukul orang. Pelayan. Menangis. Memerintah. Prajurit. Perang. Orang-orang. Mati. Raja. Tertawa. Perempuan itu pun menyadari jika buku ini menceritakan tentang seorang raja yang suka menyiksa rakyatnya dan berperang tanpa mempedulikan jumlah korban.
"Kira-kira kakek tua penjaga makam bisa memberitahu bahasa ini atau tidak ya?"
Ujung mata hitamnya melihat cahaya matahari yang memasuki gua. Segera perempuan itu membungkus semua buku-buku tadi dengan kain lalu pergi menuju pemakaman di pinggir kota.
Kota tempat perempuan itu tinggal adalah kota dengan rakyat paling miskin di negaranya. Salah satu penyebab utama adalah wali kota dan anak buahnya yang melakukan korupsi besar-besaran.
Singkat cerita perempuan itu pun tiba di sebuah makam dengan gubuk kecil di area tengah makam yang dibangun menyatu dengan pohon beringin.
"Pak tua!" Ia menyapa seorang kakek tua dengan pakaian lusuh yang tengah mengambil air dari sumur.
"Oh, Arvani. Tumben sekali kau datang pagi-pagi, Nak."
Kakek tua itu menatap kedatangan Arvani dengan wajah yang mulai tertutup rambut lebatnya.
"Aku butuh bantuan. Bisa ajari aku membaca buku-buku ini."
Bruk!
Arvani menjatuhkan kantung kain berisi 20 buku yang perempuan itu ambil kemarin. Mata kakek tua itu sedikit membesar kala melihat buku-buku yang seharusnya tidak dimiliki oleh orang seperti Arvani.
Namun, kakek tua itu justru tertawa kecil.
"Beruntung sekali aku menemukan barang bagus seperti ini sebelum kematian menjemputku."
"Jangan mati dulu, kau harus mengajariku cara membaca baru setelah kau bebas mau mati atau tidak."
"Siapa yang mengajarimu berbicara seperti itu pada kakek tua sepertiku?"
"Kau sendiri yang mengajariku, pak tua."
Kakek tua itu menghela nafas lalu mengajak Arvani duduk di depan gubuknya. Awalnya kakek tua itu sedikit memuji Arvani karena bisa mengetahui beberapa kata dari bahasa kuno Egarta. Bahasa yang berasal dari tempat jauh di pegunungan dingin.
Arvani tidak terlalu peduli dengan sejarah bahasa ini. Dia hanya penasaran dengan isi buku tentang si raja kejam. Setelah rasa penasarannya terpuaskan ia akan menjual semua buku ini.
Kakek tua itu lalu menceritakan tentang kisah seorang pendekar pedang berdarah dingin yang telah membantai satu keluarga bangsawan di kekaisaran Zhajuyo. Pendekar pedang itu memiliki kekuatan yang hampir menyamai seorang Viarki, pemilik miracle terhebat.
Akan tetapi, pendekar pedang tersebut kalah dalam duel melawan Viarki dan menghilang entah kemana. Sejak saat itu namanya tidak pernah terdengar lagi.
Buku yang di dapatkan Arvani mengatakan jika si pendekar pedang itu menghilang karena tertangkap oleh salah satu dari 12 keluarga bangsawan agung dan jiwanya ditahan untuk menjadi senjata hidup.
Nama dari pendekar pedang itu adalah Kensei Igarashi dari negeri Matahari Terbit.
Setelah mendengar kisah itu, pak tua tersebut mulai mengajari Arvani cara membaca beberapa bahasa yang terdapat pada buku-buku tersebut. Mulai dari bahasa benua, bahasa internasional, serta beberapa bahasa kuno.
Mata hitam Arvani melihat jika matahari sudah berada di titik tertingginya.
"Pak tua, aku pergi dulu ya. Kau mau kubawakan makanan atau tidak?"
Kakek tua itu menggeleng pelan. "Aku masih punya kacang-kacangan untuk 10 hari kedepan."
"Oke deh, titip buku-buku ini ya. Jangan di makan."
Arvani lalu bangkit dari duduknya dan berjalan cepat menjauhi pemakaman.
"Orang gila mana yang memakan buku!"
"Aku!" Balas Arvani berteriak.
.
.
.
Sore hari. Kakek tua penjaga makam itu memandangi satu persatu buku yang dibawakan oleh Arvani. Detik berikutnya ia menghela nafas panjang.
"Dari mana anak itu mendapatkan buku-buku berbahaya ini. Kalau sampai ada golongan elit yang mengetahui hal ini, anak itu akan menjadi buronan."
"Kok bisa aku jadi buronan?"
Deg!
Kakek tua itu berteriak dalam diam kala Arvani muncul begitu saja di belakangnya.
"Bocah sialan, jangan mengagetkan begitu?! Kau mau aku mati?!"
Arvani menaikkan satu asli bingung. "Kan sudah aku bilang kalo mau mati kau harus mengajariku cara membaca dulu."
Kakek tua itu menghela nafas. Dia lalu menyuruh Arvani untuk datang lagi besok mengingat malam hari akan menjadi berbahaya.
Arvani pun menahan rasa penasarannya hari ini. Dia kembali dengan buku-bukunya dan masuk ke dalam gua.
Karena tak bisa tidur, Arvani mengambil sebuah kristal energi dari saku bajunya dan mulai membaca buku tentang Kensei Igarashi. Kristal energi yang dijadikan pencahayaan itu cukup membantu Arvani.
"Seorang pendekar pedang dari keluarga bangsawan di negeri Matahari Terbit. Aku penasaran makanan apa yang ia makan tiap hari? Perlakuan istimewa apa saja yang ia dapatkan karena lahir di keluarga bangsawan? Seempuk apa tempat tidurnya?"
"Seberapa hebat teknik berpedang Kensei hingga dia percaya diri untuk berperang?"
"Sangat hebat."
Deg!
Arvani tersentak. Tanpa sadar ia mundur menjauhi sesosok pria berambut hingga punggungnya menabrak dinding gua yang keras dan kasar.
Berdiri di hadapannya, pria dengan rambut putih bergelombang, mata abu-abu yang seakan memandang rendah orang lain, serta pedang tua di pinggang. Tak salah lagi, pria itu adalah Kensei Igarashi.
"Apa kau yang membebaskan kembali jiwaku, wanita lusuh?"
Arvani tak habis pikir. Dia tak peduli dengan hinaan pria itu, dia bingung. Bagaimana bisa orang yang dikatakan sudah hilang selama 100 tahun lalu masih hidup sampai sekarang?