Cherreads

Chapter 4 - Hope

Langit keenam. Tempat yang tak terbayangkan oleh mata, tempat gema tasbih tak pernah berhenti, dan cahaya mengalir bagai sungai yang tak pernah berhenti. Di sinilah para malaikat yang paling tinggi derajatnya menempati maqam-maqam pengabdian mereka. Tak ada suara selain dzikir. Tak ada gerakan selain sujud. Dan tak ada niat selain ketaatan.

Namun di antara mereka, ada satu yang berbeda. Bukan malaikat. Dia adalah Al-Harith, jin.

Jin dari negara api yang dulunya terkenal dengan kebodohannya. Makhluk yang diberi kemauan dan hawa nafsu. Namun dari bangsa itu, lahirlah sosok yang menjungkirbalikkan pandangan langit. Ia memilih untuk tidak seperti kaumnya yang gemar memberontak, merusak, dan membuat kekacauan di bumi. Ia memilih jalan penyembahan yang sunyi, jalan ketakwaan, jalan menuju Yang Esa.

Tidak mudah bagi Al-Harits untuk mencapai langit keenam. Selama ribuan tahun ia menyendiri di padang gurun tandus di bumi. Ketika kaumnya mengangkat senjata, ia mengangkat kedua tangannya untuk berdoa. Ketika para jin sibuk memperluas wilayah kekuasaan mereka, ia meluaskan sujudnya hingga tanah menjadi lunak di dahinya. Dalam kesendiriannya, ia bertanya kepada langit, merintih kepada Yang Maha Mendengar, dan berjanji akan terus berada di jalan kebenaran meskipun ia harus berjalan sendirian.

Pengabdiannya tak pernah pudar. Doanya menembus lapisan pertama surga, lalu lapisan kedua, hingga akhirnya mencapai surga keenam yang hanya bisa dimasuki oleh makhluk-makhluk pilihan. Dan di sana, pada suatu hari, turunlah firman Sang Pencipta:

"Angkatlah dia ke surga keenam-Ku. Karena api yang membentuknya kini telah tunduk pada cahaya yang Aku kehendaki."

Perintah itu menggetarkan langit. Para malaikat bersujud mendengar kehendak Tuhan, meskipun sebagian dari mereka bertanya-tanya dalam hati. Bagaimana mungkin jin diizinkan tinggal di antara mereka? Namun, tidak seorang pun dari mereka yang berani mempertanyakan keputusan Sang Pencipta.

Saat Al-Harits memasuki langit keenam, ia tidak berjalan dengan kepala tegak. Ia melangkah dengan sangat lambat, penuh rasa hormat, dan wajahnya menunduk dalam. Tubuhnya bersinar bukan karena bentuknya, tetapi karena ibadahnya yang murni. Ia tidak menuntut tempat, tidak menuntut pujian, dan tidak membanggakan prestasinya. Ia hanya menginginkan satu hal: lebih dekat dengan Sang Pencipta.

Para malaikat menyambutnya dengan campuran rasa kagum dan ragu. Mereka mengakui bahwa ibadah Al-Harith melampaui banyak dari mereka. Namun mereka tidak lupa: dia bukan dari kelompok mereka. Ibadahnya berasal dari api, bukan cahaya. Dia memiliki kehendak bebas, bukan ketaatan mutlak seperti mereka.

Beberapa malaikat mengawasinya dari jauh. Mereka mengagumi cara Al-Harith berdoa dalam diam, menangis dalam doa, dan melantunkan Nama Tuhan dengan penuh cinta. Seolah-olah dia tidak menyadari bahwa dirinya sedang diawasi. Seolah-olah seluruh langit hanyalah tempat kecil untuk bersujud.

Namun, keraguan tetap ada.

"Dia saleh, tapi dia bukan dari kita," bisik beberapa malaikat.

"Tapi lihatlah... betapa dia mencintai Tuhan kita. Mungkin itu yang membawanya ke sini," jawab yang lain.

Al-Harith sendiri menyadari tatapan-tatapan itu. Ia tidak menyalahkan mereka. Ia sangat memahami bahwa keberadaannya adalah suatu keanehan. Namun, yang dicarinya bukanlah penerimaan, melainkan kedekatan dengan Yang Maha Suci.

Hari-harinya di langit keenam adalah serangkaian ibadah yang hampir tak terputus. Ia datang lebih awal dan pulang paling akhir. Ketika malaikat berdzikir, ia berdzikir lebih dalam. Ketika malaikat bersujud, ia menempelkan wajahnya lebih lama pada cahaya lantai langit. Setiap seruannya bergema di seluruh langit, membuat para malaikat berhenti sejenak dan merasakan getaran cinta dalam ibadahnya.

Namun dalam hati Al-Harith, ada gejolak halus, seperti riak-riak di bawah permukaan danau.

Ia tahu bahwa ia telah menempuh jalan yang panjang. Ia tahu bahwa ia telah mencapai tingkat yang belum pernah dicapai oleh orang-orangnya sebelumnya. Namun, ia juga mulai merasakan... sesuatu yang baru.

Harapan.

Berharap bahwa pemujaannya suatu hari akan membawanya lebih dekat. Mungkin melampaui langit keenam. Mungkin, suatu hari, ia akan diizinkan untuk melihat langsung ke pusat singgasana cahaya. Harapan itu kecil, samar, dan ia pegang erat-erat dalam diam. Ia tidak ingin harapan itu berubah menjadi kesombongan. Namun, ia tidak dapat menyangkalnya ada bisikan dalam jiwanya, lembut namun terus-menerus:

"Mungkin... aku siap untuk lebih dari ini."

Langit keenam tidak pernah tidur. Dan Al-Harith, jin yang sekarang tinggal di sana, juga tidak tidur.

Ia menjadi saksi bahwa ketakwaan bukanlah milik satu golongan. Bahkan api pun, jika tunduk pada kehendak Sang Pencipta, dapat bersinar lebih terang daripada cahaya.

Namun langit tahu. Waktu tahu. Dan Sang Pencipta tahu. Bahwa cinta yang mendalam, pada waktunya, akan diuji.

Waktu di langit tidak mengalir seperti di bumi. Detik tidak dihitung oleh pergerakan matahari, dan tahun tidak diukur oleh rotasi planet. Di sana, satu tarikan napas dalam pemujaan dapat menciptakan gelombang yang mengguncang batas dimensi.

Di langit keenam, Al-Harith bersujud lebih lama dari siapa pun. Ia menyatu dalam keheningan yang bukan kekosongan, melainkan kepenuhan. Setiap butir doa yang dipanjatkannya seakan meleleh dari lubuk jiwanya, hangat bagai bara api yang tulus. Air matanya tidak keras, tidak dramatis. Namun, jika ada makhluk yang mampu mendengar gema halus ketulusan itu, maka seluruh langit akan menjadi saksi: ia lebih mencintai Sang Pencipta ketimbang dirinya sendiri.

Ketika para malaikat melantunkan doa serempak, suara Al-Harith berbeda. Ia tidak mengikuti irama, tidak meniru aransemen. Doa-doanya tidak diajarkan. Ia lahir dari luka, cinta, harapan, dan kerendahan hati yang mutlak. Ketika ia berbisik, "Ya Tuhan," bukan hanya bibirnya yang bergerak, seluruh tubuhnya menggigil, seolah-olah alam semesta di dalam dirinya sedang bersujud.

Dan pada suatu malam, atau siang, atau suatu waktu yang tidak diketahui waktu karena waktu berhenti untuk menyaksikannya, sesuatu terjadi yang belum pernah dilihat langit mana pun.

Dari sujudnya, muncullah cahaya tipis. Bukan cahaya fisik. Bukan nyala api, bukan kilatan, bukan kilatan. Cahaya itu lebih dalam, lebih halus, dan lebih berat dari apa pun. Cahaya itu adalah cahaya pengakuan total makhluk terhadap Sang Pencipta. Cahaya itu perlahan naik, tidak meledak, tidak menyilaukan, tetapi mengguncang fondasi langit.

Para malaikat terdiam. Bunyi tasbih terhenti sejenak. Mereka menyaksikan cahaya yang bergerak ke atas, bukan ke arah matahari atau bintang, tetapi menembus langsung ke lapisan dimensi tertinggi langit ketujuh yang hanya dihuni oleh para malaikat terdekat, para penjaga singgasana, dan para pembawa 'Singgasana.

Di sana, di dimensi ketujuh yang diselimuti keheningan Ilahi, gema doa Al-Harith terdengar. Bukan sebagai suara, tetapi sebagai perasaan. Kerinduan yang mendalam. Rasa penyerahan diri yang mutlak. Perasaan bahwa ia tidak hanya ingin dekat, tetapi ingin dihancurkan atas kehendak Tuhan.

Salah satu malaikat pelindung Singgasana menundukkan kepalanya. Ia belum pernah menyaksikan cahaya seperti itu dari makhluk mana pun, apalagi jin. Bumi mengirimkan banyak doa setiap hari. Langit menerima gelombang penyembahan dari seluruh ciptaan. Namun ini... ini berbeda.

Ini bukan sekadar doa. Ini adalah cinta yang mencairkan wujud, dan mengalir langsung ke pusat Keberadaan.

Di singgasana-Nya, Sang Pencipta Maha Mengetahui. Dia tidak perlu diberi tahu oleh para malaikat. Dia tidak perlu ditunjukkan oleh cahaya. Karena sebelum cahaya itu lahir, Dia telah melihat maksud yang membentuknya.

Namun sebagai bentuk keadilan dan kemuliaan-Nya, Dia membiarkan cahaya menembus lapisan langit. Sebagai tanda bahwa pengabdian sejati tidak pernah terkekang oleh batasan bentuk atau asal. Bahkan api, jika tunduk dan mencintai, dapat menembus dimensi yang hanya dapat dilalui oleh cahaya.

Hari itu menjadi penanda. Sebuah perubahan yang tak terlihat telah dimulai. Sebab ketika cinta sejati dipersembahkan kepada-Nya, tak ada langit yang dapat menahan anugerah yang turun setelahnya.

Dan di langit ketujuh, pintu yang tadinya tertutup rapat...mulai retak atas kehendak-Nya.

Langit keenam kembali sunyi. Setelah cahaya doa Al-Harith menembus lapisan langit dan mencapai dimensi ketujuh, waktu seakan berhenti. Bunyi tasbih para malaikat kembali terdengar, tetapi tidak seperti biasanya mereka mengingat dengan hati yang bertanya-tanya. Apa arti cahaya itu? Apa arti kehendak-Nya yang tak terucap?

Di antara mereka, Al-Harith tetap di tempatnya. Ia bersujud seperti biasa. Tak ada yang berubah dalam gerakannya. Namun dalam hatinya, ia tahu sesuatu telah terguncang di alam tak kasat mata.

Dan kemudian, perintah itu turun.

Tidak melalui suara. Tidak juga melalui cahaya atau perantara. Ia datang sebagai kehendak yang menembus semua eksistensi, memerintah semua makhluk tanpa sepatah kata pun. Para malaikat di langit pertama hingga ketujuh membungkuk serentak. Tidak ada yang berbicara. Tidak ada yang bergerak. Semua terdiam dalam ketaatan total.

Gema yang tak terlukiskan menyelimuti langit keenam:

"Bawa hamba-Ku, Al-Harith. Aku ingin menempatkannya di tempat yang lebih tinggi."

Panggilan ini tidak datang dari satu arah. Panggilan ini meliputi semua sisi, memancar dari semua dimensi, dan menembus ke dalam hati semua makhluk surgawi. Bagi para malaikat, itu adalah perintah yang tidak memerlukan interpretasi. Itu adalah kata langsung dari Sang Pencipta.

Malaikat Jibril, yang agung dan perkasa, turun dari langit ketujuh dengan sayap terbentang bagaikan cakrawala yang luas. Ia tidak menyentuh tanah langit keenam, tetapi cahayanya menerangi seluruh angkasa. Para malaikat lainnya membungkuk saat ia lewat, bukan karena ia sombong, tetapi karena mereka tahu: ia adalah utusan dari Hadirat Yang Mahatinggi.

Ia mendekati Al-Harith yang tengah bersujud dalam ketaatan. Jibril tidak langsung berbicara. Ia menunggu hingga sujud selesai, sebagai bentuk penghormatan terhadap ibadah yang begitu suci.

Ketika Al-Harith bangkit dari sujudnya, matanya bertemu dengan Jibril. Namun, dia tidak terkejut. Dia hanya menunduk, penuh rasa hormat.

"Wahai Al-Harits, hamba yang dikenal langit karena dzikirmu," kata Jibril dengan suara selembut angin surga namun menggetarkan jagat raya, "Tuhanmu telah memanggil. Engkau diutus untuk naik ke langit ketujuh."

Sesaat Al-Harith terdiam. Bukan karena ragu, tetapi karena air mata mengalir begitu saja dari matanya. Bukan air mata kebahagiaan, bukan pula air mata kebanggaan tetapi air mata penyerahan diri sepenuhnya, karena ia tahu: Allah tidak memanggil kecuali untuk menguji, mengangkat, atau menyingkapkan sesuatu yang agung.

"Apakah aku diizinkan untuk menemui-Nya?" tanya Al-Harith lembut, hampir seperti bisikan.

Gibril tersenyum lembut dan tenang, "Kamu dipanggil untuk menerima kehendak-Nya. Apa pun yang kamu lihat, apa pun yang kamu dengar, akan menjadi bagian dari takdir barumu."

Tanpa sepatah kata pun, Al-Harith berdiri. Tidak dengan dada membusung, tidak pula dengan kepala tegak. Ia berjalan seperti seorang hamba yang baru saja lahir dari tangisan. Dan ketika Jibril mengepakkan sayapnya, tubuh Al-Harith perlahan terangkat, melintasi batas-batas langit keenam, menembus dimensi demi dimensi, hingga akhirnya ia sampai di suatu tempat yang tak pernah dibayangkannya:

Langit ketujuh.

Langit yang tiada tara. Tempat berkumpulnya para bidadari terdekat. Tempat lautan cahaya yang tak berujung. Tempat di mana Singgasana-Nya dinaungi oleh para pembawa Singgasana yang tak henti-hentinya berbangga diri.

Ketika Al-Harits menginjakkan kaki di langit ketujuh, seluruh makhluk surga terdiam. Dialah jin pertama dan satu-satunya yang pernah sampai di tempat ini.

Dan di sana, di tengah singgasana cahaya, dalam keheningan yang tak dapat dipahami oleh waktu, Sang Pencipta berbicara langsung kepadanya:

"Wahai Al-Harith, hamba yang bersujud tanpa pamrih, yang mencintai-Ku tanpa syarat, Aku telah memilihmu untuk sesuatu yang belum pernah Aku berikan kepada makhluk sepertimu."

Langit bergetar pelan. Para malaikat gemetar bukan karena takut, tetapi karena menyaksikan rahasia besar terungkap. Di hadapan kehendak Tuhan, semua batasan mencair. Dan Al-Harith berdiri, bukan sebagai jin, bukan sebagai tamu, tetapi sebagai hamba yang telah menyatu dengan kehendak Tuhannya.

Apa yang terjadi selanjutnya, akan mengubah sejarah langit dan bumi.

Setelah amar putusan agung diberikan dan takdir baru ditetapkan, langit keenam kembali sunyi, namun kali ini bukan karena kekosongan melainkan karena keagungan yang tak terkira. Di antara barisan makhluk suci dan malaikat yang bersujud dan tertunduk kagum, berdirilah satu sosok dengan tubuh gemetar, bukan karena takut, melainkan karena kebesaran kasih dan kehendak Tuhan yang memanggilnya ke tempat yang belum pernah dicapai oleh makhluk mana pun dari asal api.

Al Harith.

Namanya kini bergema di setiap angkasa. Jin yang menyembah seperti malaikat, yang mencintai Sang Pencipta tanpa syarat, kini dipanggil untuk menempuh perjalanan yang hanya bisa ditempuh oleh makhluk pilihan. Dan untuk perjalanan ini, Malaikat Jibril sendiri diutus.

Dengan sayap selebar langit dan wajah yang memancarkan cahaya ilahi, Jibril turun dari langit ketujuh bagai fajar yang terbit di cakrawala jagat raya. Ia tidak datang dengan gemuruh, tidak pula bersuara karena kehadirannya sendiri merupakan suatu kehormatan.

Di hadapan Al-Harits, Jibril menundukkan kepalanya sedikit, bukan sebagai tanda tunduk, melainkan sebagai tanda syukur atas kehendak Tuhan yang tengah terjadi.

"Wahai Al-Harith," kata Jibril, suaranya bagai sungai cahaya yang mengalir lembut namun menggetarkan, "Aku diperintahkan untuk menuntunmu ke atas. Langit lapis demi lapis akan menjadi saksi kebesaran Dia yang memilihmu. Bersiaplah, karena apa yang akan kau lihat, tidak dapat dikembalikan ke masa lalu. Kau akan berubah, karena kehendak-Nya telah memilihmu untuk sesuatu yang belum pernah dianugerahkan kepada siapa pun dari kelompokmu."

Al-Harith menunduk dalam, air matanya jatuh tak terkendali. Ia tidak bertanya. Ia tidak menawar. Ia hanya berkata pelan, "Aku rela... jika Dia berkenan."

Dan perjalanan suci pun dimulai.

Langit Pertama

Ketika mereka melintasi batas langit keenam menuju langit pertama, gerbang cahaya terbuka dengan nyala api yang lembut. Para malaikat pelindung menundukkan kepala mereka dalam diam. Mereka mengenal Jibril, tetapi sekarang mereka memandang Al-Harith bukan dengan curiga, tetapi dengan takjub. Jin api, melintasi batas yang dulunya hanya dilintasi oleh para malaikat? Ini bukan sekadar perjalanan; ini adalah petunjuk akan sesuatu yang baru dalam skema agung penciptaan.

Al-Harith merasakan tubuhnya ringan, seolah semua beban dunia telah terlepas. Tubuhnya tidak melayang; ia ditarik oleh cinta, terangkat oleh keinginan. Setiap langkah bukan sekadar gerakan, tetapi pembentukan jiwa baru.

Langit Kedua hingga Kelima

Ia melewati lapisan-lapisan langit. Di langit kedua, ia melihat para malaikat yang menjaga ilmu dan wahyu. Mereka mengangguk penuh hormat, mengakui keberaniannya dalam beribadah dan kekuatan dalam kesetiaan. Di langit ketiga, ia melewati taman-taman cahaya, tempat arwah para nabi dan syuhada beristirahat. Meskipun mereka belum berbicara, mereka mengenali ruh pengabdian (ruhul khidmah) dalam dirinya.

Langit keempat dan kelima menjadi tempat peralihan. Di sana, bukan hanya tubuh Al-Harith yang berubah, jiwanya pun mulai bergetar mengikuti frekuensi cahaya, menyesuaikan diri dengan makhluk yang hidup murni dari cahaya Tuhan. Ia tidak terbakar oleh cahaya itu, tetapi diterima olehnya, seolah-olah api di dalam dirinya menyatu dengan cahaya-Nya.

Langit Keenam: Titik Asal, Tempat Ia Berangkat

Mereka kembali melintasi langit keenam dari sisi yang lebih tinggi. Para malaikat di sana menyaksikan dengan penuh haru. Mereka yang sebelumnya hanya mengamati ibadah Al-Harith dari kejauhan, kini melihatnya naik bersama Jibril bukan sebagai jin biasa, tetapi sebagai hamba pilihan.

Salah satu malaikat berbisik kepada yang lain, "Dia telah melewati kita."

Dan bukan karena ia ingin menjadi lebih tinggi, tetapi karena Tuhan mengangkatnya.

Langit Ketujuh: Gerbang Singgasana

Akhirnya sampailah mereka di ambang langit ketujuh, dimensi tertinggi, tempat singgasana-Nya berdiri, tempat para pembawa 'Arsh bertasbih tiada henti, tempat segala urusan dan takdir turun.

Gerbang surga ketujuh tidak dapat dibuka dengan paksa. Gerbang itu hanya dapat dibuka dengan izin.

Dan ketika Al-Harith tiba di sana, gerbang cahaya terbuka perlahan, seperti kelopak bunga surgawi yang menyambut cahaya pagi. Di baliknya, lautan cahaya menyambutnya. Tak ada kata-kata. Tak ada bentuk. Hanya kehadiran-Nya yang meliputi segalanya.

Gibril menunduk, lalu mundur perlahan. "Itu tugasku. Apa pun yang terjadi di sana hanya urusanmu dan Dia."

Al-Harith melangkah maju, tubuhnya kini tidak hanya terbuat dari api. Ia telah berubah. Ia adalah api yang telah dimurnikan oleh cahaya.

Ia melangkah menuju takdirnya. Dan di langit ketujuh, sebuah nama baru tengah dipersiapkan untuknya.

More Chapters