"A... pelan-pelan atuhhh masukinnnnya... ahhh," bisik Risma dengan suara mendesah, nafasnya berat dan bergetar, campuran antara takut dan rindu yang semakin dalam.
Bima mengecup kening Risma dengan lembut, nafasnya masih berat. "Tenang aja teh, ini udah pelan-pelan kok…" bisiknya hangat, mencoba menenangkan tiap detak jantung yang menggema.
Risma menggenggam tangan Bima erat, tubuhnya bergetar halus mengikuti ritme yang perlahan menyatu. Suara desah mereka menggema di ruang sempit lantai dua counter hp, bercampur dengan aroma karet dan logam, sementara layar-layar kecil berkelip redup, seolah dunia luar lenyap dan hanya menyisakan mereka berdua dalam pusaran gelora dan rindu.
Bima menundukkan wajahnya, menatap mata Risma yang basah oleh perasaan campur aduk. "Aku di sini, Teh. Gak bakal buru-buru," ucapnya lembut, memberi rasa aman yang membuat Risma sedikit lega.
Tangan Bima hangat menyusuri punggung Risma, lembut mengusap setiap lekuk, seolah menyalurkan semua rindu dan janji yang tak terkatakan, membuat kulitnya merinding dan hati berdegup makin dalam. Desahan mereka semakin pelan dan dalam, membawa kehangatan yang tak bisa dijelaskan, hanya bisa dirasakan.
Suara desah Risma dan Bima kian membuncah, bergelora seiring detik demi detik yang membawa mereka ke puncak hasrat. Napas mereka berpadu, berat dan tak beraturan, memenuhi ruangan kecil di lantai dua counter hp itu dengan getaran yang hampir tak tertahankan.
"A... ahhh... Bima...," lirih Risma, suaranya penuh dengan ledakan emosi yang tertahan lama. Tubuhnya mengejang, tenggelam dalam gelombang kenikmatan yang meluap-luap.
Dengan satu dorongan terakhir yang dalam dan penuh rindu, pinggulnya menyatu sempurna dengan tubuh Risma. Getaran puncak itu melanda mereka bersamaan, mengguncang sunyi pagi yang menyimpan terlalu banyak rahasia. Hanya napas berat yang tersisa, menggema di antara kotak-kotak dan layar-layar yang menjadi saksi.
Mereka terdiam, saling menatap dalam keheningan yang berat… mata Risma berkilat basah, bibir Bima mengatup rapat, dan udara di antara mereka penuh dengan beban bahagia yang getir, bersalah yang menyesak, serta rindu yang mengikat tanpa lepas."
Setelah keheningan yang ganjil menggantung di antara mereka. Risma duduk di kursi, merapikan rambut dan sweaternya tanpa berkata-kata. Bima pun hanya diam, menunduk sambil meneguk air putih dari gelas plastik.
"Maaf Tehh..." Bisik Bima.
Risma menoleh. "Aku yang harusnya minta maaf."
Ucapan itu membuat dada Bima bergetar. Ia bangkit, duduk di samping Risma. Tak menyentuh, hanya duduk. Tapi kedekatan itu cukup untuk menghangatkan hati mereka yang mulai retak dalam cara yang berbeda.
"Kalau Teteh butuh tempat buat cerita... kapan pun," kata Bima pelan. "Saya di sini, Teh."
Risma mengangguk. Di matanya tak ada air mata, hanya kabut samar dari perasaan-perasaan baru yang tak pernah ia undang.
Ia kemudian berdiri, mengambil ponsel barunya, dan berjalan keluar konter. Gerimis sudah berhenti, hanya menyisakan bau tanah basah yang menusuk dan langit kelabu menjelang siang.
Langkah Risma terasa lebih berat kali ini. Bukan karena rasa bersalah semata, tapi karena kini ia membawa rahasia. Rahasia yang akan ia sembunyikan di balik senyuman seorang ibu rumah tangga biasa. Seorang istri yang ditinggal. Seorang perempuan… yang mulai kehilangan kendali atas hatinya sendiri.
Dan Siang itu, untuk pertama kalinya setelah sekian lama, Risma menatap wajahnya di cermin… dengan tatapan yang berbeda. Bukan karena merasa cantik. Tapi karena tahu… dirinya masih bisa membuat seseorang jatuh cinta.
Tatapan itu menggambarkan kebingungan dan ketakutan yang halus. Ada perasaan asing yang merayap perlahan di balik kulitnya… sejenis kesadaran bahwa ia tak lagi utuh seperti dulu. Bukan karena kehilangan, tapi karena ia telah membiarkan sesuatu masuk… dan mengubahnya, walau hanya sedikit.
Tangannya menyentuh pipi yang memerah, entah karena udara atau karena sisa-sisa kehangatan yang belum sirna. Ia menarik napas panjang, menunduk, lalu tersenyum samar. Senyum itu bukan untuk siapa-siapa. Hanya untuk dirinya sendiri… untuk perempuan yang baru saja menyadari bahwa dirinya tak sekokoh yang ia kira.
Ponselnya bergetar di tangan. Notifikasi dari grup pengajian ibu-ibu RT. Sebuah pengingat tentang dunia yang harus ia jalani lagi… dunia di mana ia adalah istri dari seorang lelaki yang jarang pulang, ibu dari seorang anak yang sedang tidur siang, dan tetangga yang dikenal sebagai sosok kalem dan penuh senyum.
Ia membaca pesan singkat dari Dini tetangga dekatnya… "Ris, besok pengajian jam 9 ya, jangan lupa bawa snack giliran kamu."
Risma tersenyum miris. Dunia nyata memanggil lagi, dengan segala rutinitas dan topeng sosial yang harus ia kenakan seperti biasa. Tapi dalam dirinya, sudah ada sesuatu yang berubah.
Saat ia berjalan menuju rumah, pikirannya melayang pada Bima. Pada cara laki-laki itu menatapnya, menyentuhnya, dan… lebih dari segalanya… mendengarkannya. Ia tak pernah menyangka bahwa momen seperti tadi akan menjadi begitu berpengaruh, begitu membekas… begitu menakutkan.
Karena bukan soal tubuh yang menyatu. Tapi tentang bagaimana seseorang bisa membuatmu merasa dilihat, didengar, dan diinginkan. Dan itu jauh lebih berbahaya daripada sekadar godaan fisik.
…
Malam harinya, di rumah.
Risma menatap anaknya yang tertidur di kamar. Wajahnya begitu damai, polos, dan bersih dari dosa-dosa orang dewasa. Ia menyelimutinya perlahan, lalu berdiri di ambang pintu, mematikan lampu, dan menarik nafas panjang.
Di ruang tamu, televisi menyala dengan volume kecil. Tayangan sinetron malam yang tak menarik perhatiannya sama sekali. Ia duduk di sofa, memeluk bantal, lalu membuka pesan WhatsApp.
Ada satu pesan dari Bima.
"Teteh udah sampai rumah?"
Ia menatap pesan itu lama, tanpa membalas. Tapi tak juga menghapusnya.
Ia hanya membaca… berulang kali.
Seolah dengan membaca saja, ia sudah cukup memberi jawaban.
Malam itu setelah semua sepi. Risma berdiri lama di dapur, memandangi panci kosong dan tumpukan piring yang belum sempat dicuci. Anak semata wayangnya sudah tidur pulas sejak tadi, dan suara detik jam dinding terasa seperti gema di ruangan yang hampa.
Tangannya gemetar ringan saat mengangkat gelas bekas minumannya. Entah kenapa, malam ini segalanya terasa lebih berat. Bukan karena fisik, tapi karena hati. Ada beban yang belum selesai, ada rindu yang tak boleh ia tunjukkan ke siapa pun.
Ia membuka galeri ponselnya.
Foto suaminya muncul… selfie di proyek, mengenakan helm dan rompi oranye. Tersenyum kaku, dengan caption seadanya:
"Cuaca panas di sini. Jaga diri baik-baik di rumah ya."
Risma tersenyum tipis. Ia menyayanginya. Suaminya pria baik. Tidak selingkuh. Tidak kasar. Hanya… tidak hadir. Tidak pernah benar-benar "ada".
Tanpa sadar, jemarinya menelusuri nama yang terus ia hindari, tapi tak pernah benar-benar bisa ia lupakan. Ia membaca ulang semua pesan mereka, bahkan voice note yang tak ia balas. Suaranya terdengar lebih hangat dari biasanya… lebih... akrab. Lebih berani.
Dan itu membuatnya takut.
Ia menutup layar, lalu menyandarkan tubuh di dinding dapur. Matanya memejam pelan.
"Ya Allah... aku ngapain sih…" bisiknya lirih, hampir tak terdengar.
Ada genangan air mata di sudut matanya, tapi tak mengalir. Tertahan. Seperti semua perasaannya yang tak tahu harus ke mana.
Ia mengerti batas. Tapi batas itu kini terasa seperti penjara.
***