Bab 18 – Gema Hutan Kuno dan Langkah yang Semakin Mantap
Waktu terus bergulir di Alkein. Ruhosi, yang kita tinggalkan saat ia memilih jalur baru yang ditunjukkan Lensa Kabutnya, kini telah menginjak usia dua belas tahun. Dua tahun lebih telah ia habiskan untuk menyusuri jalur tersembunyi itu, membawanya semakin jauh ke barat laut, menjauhi Pegunungan Mendidih yang penuh ancaman.
Ia sekarang berada di tengah Hutan Valdoria, sebuah rimba purba yang begitu lebat hingga sinar matahari pun sulit menembus kanopi dedaunannya. Pohon-pohon di sini menjulang tinggi seperti raksasa hijau, akar-akarnya yang besar mencengkeram tanah dengan kokoh, dan suara-suara aneh—desisan, bisikan, gemerisik—selalu terdengar dari balik bayang-bayang. Udara di sini lembap dan berbau lumut serta tanah basah.
Ruhosi tampak lebih matang dari usianya. Perjalanan sendirian telah menempa fisiknya. Ia lebih tinggi, lebih gesit, dan tatapan matanya yang dulu hanya memancarkan kekonyolan kini juga dihiasi kilat kewaspadaan dan pengalaman. Namun, senyum jahil dan celetukan-celetukan spontannya masih sering muncul, terutama saat ia berhasil mengatasi kesulitan dengan caranya sendiri.
"Hup! Kena kau, ikan cerewet!" seru Ruhosi sambil menarik tombak kayunya yang kini ujungnya terbuat dari tulang monster runcing. Seekor ikan sebesar lengannya, dengan sisik berwarna pelangi dan gigi-gigi tajam, berhasil ia tombak di sungai dangkal yang airnya jernih. "Sudah kubilang, jangan coba-coba gigit jempol kakiku lagi!"
Kemampuan Napas Anginnya semakin terasah. Ia bisa merasakan getaran di udara yang menandakan bahaya, melompat dari dahan ke dahan seringan tupai terbang, bahkan menggunakan hembusan angin kecil untuk mengalihkan perhatian predator atau meniup dedaunan kering untuk menyamarkan jejaknya. Asap hitam dari retakan di kulitnya pun kini sedikit lebih bisa ia kendalikan; ia bisa membuatnya lebih tipis atau lebih pekat sesuai kebutuhan, meski belum sepenuhnya mengerti sumber kekuatan itu.
Lensa Kabutnya masih menjadi penunjuk jalan utama. Jalur biru redup di dalamnya kadang jelas, kadang memudar, menuntunnya melewati labirin akar, menyeberangi sungai deras, dan menghindari rawa-rawa beracun. Bisikan tentang "kekuatan yang menunggu" masih samar, namun Ruhosi merasa semakin dekat dengan sesuatu yang penting.
Suatu hari, saat ia tengah mencari buah-buahan di bagian hutan yang belum pernah ia jamah, ia menemukan sebuah reruntuhan kuno—sebuah kuil batu kecil yang nyaris seluruhnya tertutup tanaman rambat. Di tengah kuil itu, ada sebuah pedestal batu dengan ukiran spiral yang aneh.
"Hmm, tempat apa ini? Apa ada harta karunnya?" gumam Ruhosi penasaran, seperti biasa.
Saat ia menyentuh pedestal itu, ukiran spiral tersebut tiba-tiba bersinar hijau redup. Udara di sekitarnya bergetar, dan dari dalam tanah di depan pedestal, muncul sesosok golem penjaga yang terbuat dari akar kayu dan batu lumutan. Mata golem itu menyala dengan cahaya hijau yang sama.
"GRROOARR! PENYUSUP!" Suara golem itu berat dan serak, seperti gesekan kayu tua.
Ruhosi, bukannya takut, malah nyengir. "Wah, ada yang jaga! Maaf ya, Pak Golem, aku cuma lihat-lihat. Nggak ada niat nyuri kok, kecuali kalau ada makanan enak."
Golem itu tidak peduli. Ia mengayunkan lengannya yang besar dan penuh duri ke arah Ruhosi. Dengan gesit, Ruhosi melompat mundur, menggunakan Napas Angin untuk memberinya dorongan ekstra. Pertarungan pun tak terhindarkan.
Golem itu kuat dan lambat, tapi pukulannya mematikan. Ruhosi mengandalkan kecepatan dan kelincahannya. Ia menari-nari di sekitar golem, mencari celah. Beberapa kali ia mencoba menyerang dengan tombaknya, tapi kulit kayu dan batu golem itu terlalu keras.
"Aduh, alot banget sih!" keluh Ruhosi. Ia teringat latihannya dengan Ras Bayangan—gunakan lingkungan.
Dengan cepat, ia memancing golem itu ke dekat pohon-pohon besar dengan akar yang menjuntai. Saat golem itu kembali mengayunkan lengannya, Ruhosi melompat, meraih akar gantung, berayun, dan dengan tendangan kuat yang dialiri sedikit energi dari retakan tubuhnya, ia menghantam tepat di bagian kepala golem yang tampak sedikit lebih rapuh.
BRAKK!
Golem itu terhuyung, beberapa serpihan batu rontok dari kepalanya. Ia meraung lebih keras, tapi gerakannya mulai melambat. Ruhosi tidak memberinya kesempatan. Ia terus menyerang titik yang sama, menggunakan kecepatan dan momentum dari ayunan akar.
Akhirnya, setelah beberapa hantaman lagi, golem itu ambruk dengan suara berdebam keras, cahaya hijau di matanya meredup lalu padam.
Ruhosi mendarat dengan napas sedikit terengah. "Huh, lumayan juga. Tapi kenapa dia marah banget ya?"
Ia kembali mendekati pedestal. Setelah golem itu kalah, ukiran spiral di pedestal bersinar lebih terang, dan dari tengahnya muncul sebuah batu kecil berbentuk daun berwarna hijau giok. Batu itu memancarkan energi alam yang menenangkan.
Saat Ruhosi mengambilnya, Lensa Kabut di sakunya bergetar. Jalur biru di dalamnya kini tampak sedikit lebih jelas, dan titik tujuannya yang semula kabur kini mulai membentuk siluet samar seperti sebuah pohon raksasa atau menara alami. Batu daun hijau itu seolah menjadi kunci kecil yang membuka petunjuk selanjutnya.
"Oh, jadi ini 'kekuatan yang menunggu' itu? Atau baru sebagian kecilnya?" gumam Ruhosi, membolak-balik batu daun di tangannya. "Lumayanlah buat ganjelan, siapa tahu bisa buat masak sayur."
Ia menyimpan batu daun itu baik-baik. Perjalanan di Hutan Valdoria ini ternyata memberinya lebih dari sekadar buah-buahan dan ikan. Ada misteri kuno yang tersembunyi, dan sepertinya ia baru saja menguak lapisan pertamanya.
Malam itu, saat ia beristirahat di atas dahan pohon tinggi, menatap bintang-bintang yang mengintip dari celah kanopi, ia teringat sejenak pada Kunci-Kunci Alkein dan ancaman Vorgash. Perburuan itu pasti masih berlangsung di luar sana. Tapi untuk saat ini, ia harus fokus pada jalur yang ada di hadapannya. Jalur yang entah kenapa terasa… benar.
Dengan semangat baru dan petunjuk yang sedikit lebih jelas, Ruhosi melanjutkan perjalanannya keesokan harinya, semakin dalam memasuki Hutan Valdoria, tidak menyadari bahwa setiap langkahnya, setiap pilihan kecilnya, terus membentuk jalinan takdir yang rumit, yang suatu hari nanti akan berpotongan dengan takdir seorang gadis bercahaya di lembah para Elf.