Cherreads

BERPALING SAAT AKU PERCAYA

ALIKA_HK
14
chs / week
The average realized release rate over the past 30 days is 14 chs / week.
--
NOT RATINGS
1.8k
Views
Synopsis
Ryu, seorang pria muda yang sukses dengan pesona dingin dan tak tersentuh, sering dijuluki “Mr. Ice” oleh sahabat masa kecilnya. Di balik sikap tenangnya, tersembunyi masa lalu yang kelam—luka dan rahasia yang tak pernah benar-benar diketahui siapa pun. Ia memiliki empat sahabat dekat, masing-masing dengan kepribadian yang berbeda, tapi tak semuanya setia. Sementara itu, Mia, gadis berusia 23 tahun dari desa terpencil, dikenal sebagai gadis yang canggung dan polos. Sejak kecil ia dibesarkan oleh neneknya, dan hidupnya berubah total ketika sang nenek meninggal dunia. Mia terpaksa pindah ke kota untuk tinggal bersama ayah kandungnya, ibu tiri, dan saudara tiri yang licik. Dunia mereka bertabrakan dengan cara yang paling tak terduga—sebuah jebakan. Pada suatu malam, di sebuah kamar hotel mewah, mereka terjebak dalam situasi yang dirancang oleh orang-orang yang paling mereka percayai. Sebuah malam yang tak diinginkan, namun menjadi awal dari luka… dan ikatan yang tak bisa diputuskan. Ketika Mia terbangun menghadapi kenyataan pahit, ia memilih untuk menghilang, menghapus setiap jejak malam itu. Tapi Ryu tidak bisa melupakannya—atau tatapan di matanya. Dikuasai oleh tekad untuk menemukan Mia, Ryu memulai pencarian. Namun, akankah ia berhasil mengungkap kebenaran di balik pengkhianatannya? Atau justru kehilangan segalanya—termasuk hatinya sendiri?
VIEW MORE

Chapter 1 - 1

"ayo cepat, kita perlu ambil tindakan secepatnya," ucap salah satu dokter yang berlari menuju ruang IGD.

"Dokter, tolong Nenek Shen!," tekan salah satu wanita muda yang menghalau dokter.

"Saya akan menolongnya, anda tak perlu khawatir. Berdoalah, semoga Nenek anda bisa melewati masa-masa kritisnya," sahut dokter yang menenangkan keluarga pasien.

Dokter langsung masuk ke ruang IGD, dokter dan juga perawat semua tegang. Mereka berusaha untuk menangani pasien yang terkena serangan jantung.

Detak monitor jantung terdengar cepat, lalu sempat melambat—membuat suasana di ruang IGD semakin tegang.

"Saturasi turun!" teriak salah satu perawat sambil menatap layar monitor. "Tekanan darahnya anjlok!"

"Siapkan defibrillator!" perintah dokter sambil merapat ke sisi ranjang. "Kita kehilangan ritme. Bersiap!"

Seorang perawat mendorong mesin defibrillator mendekat dan dengan sigap menempelkan pad-nya ke dada Nenek Shen. Dokter memberi aba-aba:

"Clear!"

Tubuh Nenek Shen terangkat sedikit saat kejutan listrik dialirkan. Semua mata tertuju ke monitor—masih belum ada perubahan.

"Sekali lagi! 200 joule, clear!"

Deg!

Monitor menunjukkan sedikit gelombang. Para perawat menahan napas, menatap layar penuh harap.

"Tingkatkan tegangan listrik,cepat!," pinta dokter yang berusaha menolong pasien.

"Naikkan ke 300 joule! Sekarang!" teriak dokter dengan mata tajam menatap monitor jantung yang menampilkan garis lurus—flatline.

Perawat langsung menaikkan tegangan dan menyerahkan kontrol kepada dokter. Dengan cepat, dokter menempelkan pad alat pacu jantung ke dada Nenek Shen yang mulai pucat.

"Semua menjauh. Clear!"

Deg!

Tubuh Nenek Shen sedikit terangkat akibat aliran listrik. Semua orang menatap monitor—masih garis lurus.

"Naikkan lagi ke 360 joule. Kita belum menyerah!" seru dokter dengan napas berat namun penuh tekad.

"Siap, dok. Tegangan dinaikkan."

"Clear!"

Deg!

Dokter dan perawat sudah berusaha semaksimal mungkin untuk menolong pasien. Namun detak jantung pasien tidak bisa kembali normal.

"Pasien sudah tidak bernafas lagi, sudah tidak ada tanda-tanda kehidupan," ucap dokter yang melepaskan sarung tangannya.

"Saya akan beritahu keluarga pasien," sambung dokter sambil menuju pintu IGD.

Suasana ruang IGD seketika berubah hening. Mesin-mesin yang tadinya berbunyi kini diam, hanya menyisakan dengung samar dari lampu ruangan. Para perawat menunduk, beberapa menghela napas panjang dengan ekspresi lelah dan sedih. Di atas ranjang, tubuh Nenek Shen terbaring diam, wajahnya tampak tenang—seolah telah beristirahat dari segala rasa sakit.

Dokter merasa berat untuk menyampaikan sesuatu pada seorang gadis yang tengah duduk disamping pintu IGD sambil menangis terisak-isak.

Terdengar suara derit pelan dari ruang IGD.Terlihat jelas seorang dokter keluar dari ruang IGD dengan wajah menunduk lesu.

Dokter membuka pintu ruang IGD dengan langkah berat. Di ruang tunggu, wanita muda yang sedari tadi menanti dengan penuh harap langsung berdiri.

"Dokter… bagaimana kondisi Nenek saya?" tanyanya, suara gemetar dan penuh kecemasan.

Dokter menatapnya sejenak, sebelum menghela napas dan berkata dengan suara lembut namun jelas, "Kami sudah berusaha semaksimal mungkin. Kami memberikan kejutan listrik, CPR, dan semua protokol penanganan. Namun… kami tidak bisa menyelamatkannya."

Wanita muda itu terdiam. Matanya membesar, seolah belum mampu menerima kenyataan. Lalu, perlahan, air matanya mulai mengalir.

"Tidak… tidak mungkin… barusan dia masih..."

Dokter menyentuh bahunya dengan lembut. "Kami tahu ini tidak mudah. Tapi Nenek Anda pergi dengan tenang. Dia tidak merasa sakit lagi. Dan dia tahu Anda ada di sini, menunggunya."

Wanita muda itu menangis tersedu, lalu menutupi wajahnya dengan kedua tangan. Beberapa anggota keluarga yang datang bersamanya mendekat, memeluk dan menguatkannya.

Di dalam ruang IGD, seorang perawat perlahan menutup tubuh Nenek Shen dengan kain putih. Cahaya di ruangan itu tetap menyala, tapi kehangatan baru saja pergi. Hari itu, mereka semua menyadari betapa tipisnya batas antara harapan dan kepergian—dan betapa berharganya waktu yang mereka miliki bersama.

Setelah mengetahui bahwa Neneknya sudah tiada, dia langsung berlari menghampiri Neneknya dan memeluknya.

"Nenek, kenapa kamu tega meninggalkanku disini?," gumam gadis itu sambil menangis terisak-isak memeluk Neneknya.

"Aku tak boleh menangis, aku harus tetap tegar. Pasti Nenek akan sedih, jika melihatku seperti ini. Semoga Nenek tenang disana," sambung gadis tersebut yang melihat wajah Neneknya untuk terakhir kalinya.

Tangis gadis itu mengisi ruangan yang sunyi. Tubuhnya gemetar saat ia memeluk tubuh dingin sang Nenek, mencoba menghangatkannya meski tahu semua telah terlambat. Air matanya jatuh satu per satu ke pipi Neneknya yang kini pucat, namun tetap terlihat damai.

"Nenek... aku janji akan kuat," ucapnya pelan, suaranya serak dan bergetar. "Aku akan terus lanjutkan hidup… seperti yang selalu Nenek ajarkan padaku."

Ia mengelus lembut rambut Neneknya, mengingat masa-masa ketika tangan yang sama dulu sering membelai kepalanya dengan penuh kasih sayang. Kini semua itu menjadi kenangan yang hanya bisa dikenang dalam diam.

Perawat di dekat pintu menunduk hormat, memberi ruang bagi gadis itu untuk menikmati detik-detik perpisahan terakhir. Tak ada yang ingin mengganggu, karena semua tahu: perpisahan ini bukan sekadar kehilangan—ini adalah akhir dari ikatan jiwa yang dalam.

Gadis itu lalu berdiri perlahan, mengusap air matanya, lalu mencium kening sang Nenek untuk terakhir kalinya.

"Selamat jalan, Nek. Terima kasih… untuk segalanya."

Dengan langkah tertatih, ia meninggalkan sisi ranjang. Tapi di dalam hatinya, cinta dan kenangan bersama sang Nenek akan tetap hidup—selalu, dan selamanya.

Gadis tersebut berusaha untuk tegar menjalani hidup. Namun apa daya, dia terus meratapi kepergian Neneknya. Dia terus bersedih hingga tak sadar bahwa dirinya belum makan dan minum. Dia terus menangis hingga dirinya lelah sampai tertidur pulas.

Gadis itu bernama Mia, Mia seorang gadis desa yang berumur 23 tahun, dia baru saja ditinggal oleh sang nenek. Kini Mia berada di sebuah pemakaman milik keluarga Shen. Tidak semua orang tau soal pemakaman yang luas milik keluarga mendiang nenek Shen.

Nenek Shen terkenal orang yang sederhana bukan dari kalangan keluarga terpandang. Nenek Shen memutuskan untuk tinggal di pedesaan dengan rumah yang terbilang sederhana.

Di Sisa umurnya, nenek Shen merawat Mia dengan penuh kasih sayang. Mia dirawat oleh nenek Shen, setelah kematian ibunya yang mengalami kecelakaan. Lalu ayah Mia memutuskan untuk menikah lagi dan mempunyai anak perempuan bernama Agnes xiao.

Angin sore bertiup pelan di pemakaman keluarga Shen, menggoyangkan dedaunan kering yang berserakan di atas tanah merah yang masih basah. Di tengah lahan pemakaman yang sunyi itu, tampak seorang gadis muda tertidur bersandar di batu nisan yang baru—rambutnya kusut, matanya bengkak, wajahnya pucat karena tangis dan kelelahan.

Itulah Mia.

Mia masih mengenakan pakaian berkabung sederhana, rok panjang lusuh dan blus hitam yang kini sedikit kotor karena debu dan tanah. Di tangannya masih tergenggam bunga melati yang sudah mulai layu—bunga kesukaan Nenek Shen.

Sejak kepergian sang nenek, Mia seperti kehilangan arah. Dunia terasa hampa. Tidak ada lagi sosok yang selalu menyambutnya dengan senyum hangat dan kata-kata bijak setiap kali ia pulang dari ladang atau pasar. Nenek Shen bukan hanya seorang pengasuh atau keluarga, tapi juga teman, guru, sekaligus pelindung.

Tak banyak yang tahu, pemakaman keluarga Shen sebenarnya warisan lama—sebuah lahan yang dulu tidak pernah dibanggakan oleh sang nenek. Bagi Nenek Shen, kebesaran bukan soal nama atau warisan, tapi soal hati dan sikap. Ia memilih hidup sederhana di desa, jauh dari sorotan dan hiruk-pikuk kota.

Dan di situlah Mia tumbuh—dengan didikan tentang kejujuran, kerja keras, dan kasih sayang tanpa syarat.

Di balik pepohonan pemakaman, sesosok wanita tua berdiri dalam bayangan. Ia tersenyum lembut—bukan dengan tubuh, tapi dengan kehadiran yang tak terlihat oleh mata biasa. Nenek Shen mungkin telah pergi, tapi cintanya tetap tinggal, menyelimuti Mia dalam diam, menemani cucunya yang masih berusaha kuat dalam dunia yang kini terasa sunyi.

Karena Nenek Shen telah tiada, Mia diambil kembali oleh ayahnya yang bernama Jerry xiao untuk tinggal di kota. Mia hanya dijadikan sebagai ATM berjalan oleh ayahnya, karena Jerry xiao tidak bisa mengelola perusahaan dengan baik yang membuat perusahaan milik mendiang ibunya Mia harus gulung tikar.

Istri barunya, hanya bisa menghabiskan uang perusahaan. Hingga akhirnya, tidak punya apapun selain rumah milik peninggalan dari mendiang ibunya Mia.

"Permisi, Nona muda. Ayah anda sudah lama menunggu dirumah dan ingin anda kembali ke kota bersamanya," ucap Bibi Suni seorang kepercayaan Nona Shen dalam mengurus rumah.

"Baiklah, saya segera kembali ke rumah. Bibi pulanglah dulu, nanti aku akan menyusul, " sahut Mia yang menoleh ke arah Bibi Sunni sambil memegang batu nisan nenek Shen.

"Baik, Nona muda. Kalau begitu Saya permisi dulu," balas Bibi Sunni yang berdiri di samping Mia sambil memayungkan Mia dengan payung hitam.

Mia yang sebenarnya enggan meninggalkan pedesaan, tapi dia harus menuntaskan misinya untuk mengambil kembali rumah milik ibunya yang diambil oleh ayahnya dan ibu tirinya.

" Nenek, Mia pergi dulu. Suatu hari, Mia akan balik kesini untuk mengunjungi Nenek. Mia akan memenuhi janji Mia untuk membalas dendam atas sakit hati mama." ungkap Mia sambil mencium batu nisan nenek Shen.

"Ayo pak Jon, Kita berangkat kerumah Nenek," ajak Mia yang langsung pergi meninggalkan pemakaman.

"Baik Nona," sahut Pak Jon seorang sopir pribadi sambil membungkukkan sedikit badannya dan mengikuti langkah kaki Mia .

Kini Mia menuju rumah Nenek Shen, disana pak Jerry sudah menunggu Mia cukup lama. Perjalanan dari pemakaman memang terbilang jauh dari lokasi pedesaan.

Namun Mia tidak terlihat begitu senang untuk berjumpa dengan sang ayah. Mia menunjukkan muka masam, padahal Mia dan ayahnya sudah cukup lama terpisah.

Kalau bukan karena rumah sang ibu, Mia juga engga untuk bertemu dan tinggal bersama keluarga ayahnya yang baru.

Setelah perjalanan cukup jauh dan melelahkan, Mia langsung masuk kedalam rumah. Saat masuk kedalam rumah, tiba-tiba pak Jerry memeluk Mia. Mia merasakan pelukkan pak Jerry hanya kebohongan belaka untuk menutupi boroknya yang sudah lama ditutupi.

Dimata Mia, pak Jerry adalah ayah yang keji. Karena telah menghancurkan keluarganya, hanya demi wanita jalang.

" Mia, sekarang kamu sudah dewasa. Ayah sudah sangat merindukanmu, karena sudah lama tidak bertemu dan Ayah juga ingin mengucapkan belasungkawa atas kematian Nenek Shen," sapa pak Jerry sambil memeluk Mia.

" Lepaskan pelukanmu!. Aku tak butuh simpatik dari dirimu. Kita memang sudah lama tidak bertemu, kira-kira 16 tahun. Jadi bagiku, kamu ayah yang sudah tiada," cibir Mia sambil mendorong tubuh pak Jerry agar terlepas dari pelukannya.

" Mia, kenapa kamu begitu kasar terhadap ayahmu ini ?. Aku ini adalah ayah kandungmu, seharusnya kamu tidak bertindak kasar terhadapku," tutur pak Jerry yang sangat jelas terpancar kekecewaan dari sorot matanya.

" Kamu mau tau, kenapa aku ini bersikap kasar kepadamu?. Karena kamu itu pantas mendapatkannya dan mau tau kenapa aku itu sangat membencimu?. Karena kamu telah menyakiti hati mamaku, kamu berselingkuh dengan wanita jalang itu dan membuat mamaku mengalami kecelakaan!," cecar Mia hingga emosinya sulit dikendalikan.

"Kamu adalah perusak impianku, perusak impian anakmu sendiri..... Aku yang selalu berharap orang tuaku selalu ada untukku dan selalu bersamaku hingga aku dewasa. Namun kamu sudah merusak semua impianku," sambung Mia yang mendorong tubuh Jerry xiao hingga melangkah mundur 2 langkah.

"Mia, maafkan ayah. Tolong lupakan masa lalu, kita mulai dari awal lagi. Ayah memang bersalah terhadapmu. Sekali lagi, Ayah minta maaf. Maafkanlah ayahmu ini, sungguh aku sangat menyesali perbuatanku di masa lalu." Pinta pak Jerry agar Mia memaafkannya sambil menundukkan kepalanya dan hendak menggenggam tangan Mia.

" Maaf, aku belum bisa memaafkanmu. Karena kebencianku sebesar samudra. Kamu sebagai Ayah tak layak mendapatkan maaf dariku, karena saat aku sakit memanggil namamu. Kamu tak pernah datang menemuiku disini," teriak Mia dan menatap tajam kearah Jerry Xiao.

"Padahal Nenek memberitahumu, tapi kamu enggan datang menemuiku. Bahkan kamu lebih memilih bersama wanita jalang itu," dengus Mia yang mengungkapkan perasaannya selama berpuluh-puluh tahun dia pendam sambil menepis tangan pak Jerry yang hendak menggenggam tangannya.

PLAK

suara tamparan melayang di pipi Mia, Mia merasakan sakit dan perih di pipi. Tapi rasa sakit di pipi tidak begitu sakit dibandingkan rasa sakit dihatinya.

Hatinya sudah sangat terluka karena perlakuan ayahnya yang begitu semena-mena terhadapnya.

" Maaf Mia, Ayah khilaf. Bagaimanapun juga, dia sekarang adalah Mamamu. Seharusnya kamu memanggilnya Mama, bukan kamu sebut sebagai wanita jalang. Jadi Ayah harap, kamu bisa memanggilnya dengan sebutan Mama," ujar Pak Jerry yang telah menyesali perbuatannya karena menampar wajah Mia.

" Wanita jalang itu bukan Mamaku. Mamaku hanya satu yaitu Mama Ana, bukan yang lain. Kalau wanita itu tidak disebut jalang, lalu apa!," cecar Mia sambil menatap sinis ke arah pak Jerry.

"Cewek murahan, dia memang pantas dipanggil seperti itu. Karena dia telah menggoda pria yang sudah beristri dan merusak keluarga orang lain," sambung Mia dengan tatapan sinis sambil memegang pipinya yang terasa perih. Karena tamparan pak Jerry yang cukup keras hingga pipinya memerah.

Pak Jerry yang mendengarkan kemarahan Mia, dia hanya bisa menghela nafas panjang. Pak Jerry menahan emosinya agar tidak menampar Mia lagi.

"Aku harus mengontrol emosiku. Kalau tidak, Mia bisa tidak jadi ikut kembali bersamaku," batin pak Jerry yang sedang mengontrol emosinya agar redah.

"Sudahlah Mia, ayah tidak ingin bertengkar denganmu. Ayah hanya ingin membawamu kembali bersamaku dan membantu ayah untuk menyekolahkan adikmu di universitas pilihannya. Ayah sudah tua, jadi tidak bisa menghasilkan banyak uang," pungkas pak Jerry yang berbicara dengan nada lembut kepada Mia.

Mia yang mendengarkan hanya bisa menggerutu di dalam hati, karena dia akan menjadi sebuah ATM berjalan untuk keluarga baru Jerry Xiao.

Kalau bukan karena sebuah rencana yang sudah lama, Mia tak akan mau menjadi sebuah alat keluarga baru sang ayah.

"Setelah kamu menghabiskan semua uang milik mamaku. Kini kamu menginginkanku sebagai alat uangmu. Baiklah!," dengus Mia sambil menunjuk ke arah dada Jerry Xiao dan langsung membalikkan badan untuk mengambil segelas air.

"Anggap saja aku melakukannya sebagai hutang budi, karena engkau sudah membuatku lahir di dunia yang kejam ini. Saat hutang budi ini lunas. Aku akan menjauhimu dan jangan pernah untuk mendekatiku lagi. Apalagi menganggapku sebagai seorang anak," sanggah mia sambil minum segelas air untuk membasahi tenggorokannya yang mulai kering.

"Terserah, kamu mau bicara apa!, aku tak ingin berdebat lagi denganmu,"sahut pak Jerry yang sudah capek menahan emosi dan langsung berjalan menuju pintu.

"Aku tunggu kamu di mobil, cepat rapihkan barang-barangmu. Kita harus pergi ke kota sebelum malam tiba.karena jalanan disini cukup rumit, aku tak ingin kita kecelakaan saat dalam perjalanan," sambung pak Jerry sambil melangkahkan kakinya.

Setelah pak Jerry keluar, Mia langsung membereskan semua barang-barangnya. Tak lupa, Mia menaruh photo mamanya dan Nenek Shen kedalam koper.

"Ibu, Nenek, Mia berjanji akan membalas perlakuan ayah kepadamu dulu dan aku berjanji akan mengambil kembali rumah yang ditempati wanita jalang itu." Batin Mia sambil memeluk photo mamanya.

"Aku pasti akan merindukan rumah ini, begitu banyak kenangan yang aku lalui bersama mama dan Nenek," gumam Mia sambil melihat sekeliling rumah yang penuh kenangan.

Mia melangkahkan kakinya menuju Bibi Sunni dan pak Jon. Pak Jon dan Bibi Sunni merasa sedih, karena Mia akan meninggalkan pedesaan.

"Bibi, pak Jon, saya titipkan rumah ini kepada kalian. Saya akan berangkat ke kota bersama ayah," ucap Mia sambil memberikan kunci rumah kepada Bi Sunni.

"Baik, Non. Tolong jaga diri disana, Bibi akan selalu mendoakan Nona Mia," sahut Bibi Sunni yang memeluk Mia dengan erat seperti layaknya seorang cucu.

"Pak Jon," panggil Mia sambil menatap wajah pak Jon dengan tatapan sendu.

"Non, ini batu giok yang diberikan Nenek Shen. Batu ini adalah batu keluarga dari keluarga Shen. Nenek Shen menitipkan ke saya untuk diberikan ke Nona Mia, Jika terjadi sesuatu yang tidak diinginkan," tutur Pak Jon sambil memberikan batu Giok peninggalan Nenek Shen.

"Terimakasih Pak Jon, Bi Suni. Aku pergi dulu," ucap Mia yang langsung melangkahkan kakinya menuju Mobil Jerry Xiao.

Mia dan Jerry Xiao pergih meninggalkan desa dan menuju kota. Walau Mia berat meninggalkan desa, namun dia harus tetap ikut bersama Jerry xiao. Karena banyak hal yang harus dia lakukan dikota.

Mia dan Jerry Xiao akhirnya tiba di kota. Selama perjalanan panjang itu, mobil dipenuhi oleh keheningan yang tegang. Tak satu kata pun terucap dari ayah dan anak yang terjebak dalam kenangan dan luka masing-masing.

Malam menjelang saat mereka sampai di rumah—rumah yang dulu milik mendiang ibu Mia, kini telah berubah wajah. Di depan pintu, dua wanita telah menanti dengan senyum yang tampak manis di luar, namun tajam di balik mata mereka.

"Lihat, Mah," bisik Agnes sambil melirik Mia dari ujung kepala hingga kaki. "Anak dari wanita itu ternyata berwajah biasa saja. Aku tak punya saingan untuk memikat pria tampan dan kaya di kota ini."

Bu Yanti membalas dengan senyum tipis, tangannya membelai lembut pipi anak gadisnya. "Tenang, Sayang. Wanita culun itu tak layak bersaing denganmu. Anak Mama ini yang tercantik. Lagipula... kalau bukan karena ayahmu butuh uang dari warisan ibunya, gadis kampungan itu tak akan pernah dibawa pulang."

"Tapi jangan khawatir," lanjutnya dengan nada licik, masih berbisik. "Cinta dan perhatian ayahmu tetap milikmu. Gadis itu hanya akan jadi... ATM berjalan untuk kita."

Mia menatap mereka—dua wajah berbeda usia namun sama sinisnya. Ia mendengar bisikan-bisikan itu. Tapi dia memilih diam. Tatapannya dingin, sikapnya acuh. Bukan karena tak peduli, melainkan karena ia sudah terbiasa.

Ia masuk ke dalam rumah, diikuti ayahnya, serta ibu dan adik tirinya yang kini tampak seperti penguasa rumah. Rumah itu... tidak lagi seperti yang ia kenal.

Interiornya telah banyak berubah. Sentuhan Bu Yanti terasa di setiap sudut—kaku, dingin, dan asing.

"Mama… aku sudah kembali ke rumahmu," batin Mia pilu, matanya menyapu seluruh ruangan yang dulu penuh kenangan indah bersama ibunya.

Pak Jerry memutus lamunannya. "Kamar kamu sekarang di bawah. Kamar lama kamu sudah ditempati Agnes."

Mia menoleh perlahan. Tatapannya dingin dan tajam.

"Tidak masalah. Aku sudah terbiasa dengan orang-orang yang mengambil milikku," ucapnya datar namun penuh sindiran.

" Aku masuk ke kamarku dulu, karena aku tak punya banyak waktu untuk bersama kalian," sambung Mia sambil berjalan ke arah Bu Yanti dan Agnes.

Ia melangkah ke arah kamar tamu, melewati Bu Yanti dan Agnes. Saat itu, ia berbisik cukup keras untuk didengar mereka.

"Dasar sampah. Ibu dan anak sama-sama suka merebut milik orang lain."

Bu Yanti dan Agnes tersentak. Tatapan mereka menyala penuh amarah, tapi Mia tak menoleh. Ia terus berjalan menuju kamarnya—yang entah seperti apa kini bentuknya.

Agnes menggertakkan gigi. Belum sehari, Mia sudah jadi duri di hatinya.

"Tenang, Sayang," bisik Bu Yanti, menahan amarah sambil memeluk putrinya. "Kita tak akan membiarkan dia menang. Mama janji."

Agnes hanya mengangguk kecil, tapi dalam hatinya api cemburu telah menyala. Ia menatap punggung Mia yang perlahan menghilang di ujung anak lorong menuju kamar tamu di lantai bawah.

Bagi Agnes, Mia bukan sekadar tamu yang tak diundang—ia adalah ancaman. Ancaman terhadap kenyamanan, terhadap semua yang telah ia klaim sebagai miliknya: rumah ini, perhatian ayahnya, bahkan warisan yang belum sempat mereka genggam sepenuhnya.

Dan yang lebih menyakitkan: Mia adalah anak kandung dari istri pertama, wanita yang konon sangat dicintai Pak Jerry.

Agnes berdiri tegak di lorong, matanya menyipit penuh rencana. Ia tahu, Mia bukan gadis biasa. Tatapan sinis itu, cara bicara yang tenang namun menghantam—itu bukan ciri orang yang bisa dijatuhkan dengan cara biasa.

Tapi Agnes tak akan menyerah. "Kalau dia mau perang," gumamnya lirih, "aku siap jadi lawan yang tak bisa dia tebak."

Malam itu, di balik kemewahan rumah yang tak lagi berjiwa, dua wanita muda tidur dengan pikiran yang sangat berbeda.

Mia, dalam kamarnya yang sempit dan dingin, memandangi langit-langit kosong sambil menggenggam liontin milik mendiang ibunya. Ia tahu, hidup di rumah ini tak akan mudah.

Tapi ia tak datang untuk mencari kasih sayang—ia datang untuk menuntaskan sesuatu.

Sementara Agnes, di kamar mewah yang dulu milik Mia, merancang permainan yang akan segera dimulai. Sebuah permainan yang penuh racun, senyum palsu, dan perang dingin yang tak kasat mata.

Dan dalam permainan ini, hanya ada satu pemenang.

Hanya satu yang boleh bertahan di rumah ini sebagai ratu sesungguhnya.