Cherreads

alan Tanpa Perasaan

KONCO_LAWAS
7
chs / week
The average realized release rate over the past 30 days is 7 chs / week.
--
NOT RATINGS
671
Views
Synopsis
Di dunia di mana hanya kekuatan yang menentukan hidup dan mati, seorang pemuda bernama Yan Wuqing memilih jalan yang ditakuti oleh semua—Jalan Tanpa Perasaan (无情道). Dikhianati, kehilangan keluarga, dan melihat desanya dilenyapkan oleh kekuatan misterius, Wuqing mengubur hatinya dalam kebekuan abadi. Ia bersumpah takkan lagi memercayai siapa pun, tak akan lagi membiarkan kelemahan mengikatnya. Namun takdir memiliki rencana berbeda… Saat menapaki kultivasi dari dasar, ia menemukan sebuah bendera kuno—senjata surgawi terkutuk yang menyimpan jiwa-jiwa dari milyaran korban peperangan abadi. Bendera ini bukan hanya alat pembunuh, melainkan juga kunci menuju keabadian dan perlawanan terhadap langit itu sendiri. Setiap ranah yang ditempuh membawa dia lebih dekat ke kekuatan sejati, tapi juga makin jauh dari sisi kemanusiaannya. Di tengah jalan yang sunyi, muncul seseorang yang mengusik ketenangannya—Bai Qingxue, gadis dari sekte langit yang terluka parah dan tanpa sadar menggores sedikit “kehangatan” dalam jiwanya yang membeku. Antara membalas dendam, menjadi immortal, atau kehilangan diri sendiri dalam kehampaan kekuasaan… Yan Wuqing harus memilih: apakah akan menjadi dewa yang membekukan langit, atau manusia yang tetap punya alasan untuk hidup.
VIEW MORE

Chapter 1 - alan Tanpa Perasaan

Bab 1: Jalan Tanpa Perasaan Dimulai

Di dunia kultivasi yang kejam dan tak kenal ampun, hanya kekuatan yang berkuasa. Yang lemah dihancurkan; yang kuat menguasai langit dan bumi. Hukum dan keadilan? Hanya bualan para penguasa yang munafik. Yan Wuqing, pemuda jenius dari desa terpencil, menelan pil pahit pengkhianatan dari orang yang paling ia percayai.

Dahulu, ia anak ceria, hidup bahagia bersama keluarga dan penduduk desa. Namun, semua sirna dalam satu malam neraka. Desa yang penuh tawa berubah menjadi kuburan dan abu. Api menari-nari, tangis mengiris hati, langit seakan ikut meratap. Semua karena artefak kuno yang tersembunyi di desanya.

Tubuhnya terkapar di tanah berlumpur, luka menganga, tatapannya mati menatap mayat orang tuanya. Hati Wuqing hancur berkeping-keping, tercabik-cabik kesedihan yang tak terperi. Di bawah hujan lebat, ia berlutut—mata kosong, hampa, tanpa air mata, hanya kegelapan yang mencekam jiwanya. Rasa sakit yang mengakar, membakar, menghancurkan segenap harapan.

"Jika dunia ini hanya mengenal kekuatan… maka aku akan menjadi kekuatan itu sendiri. Jika langit menghalangiku… maka aku akan menghancurkan langit itu." — Sumpah Yan Wuqing di malam pengkhianatan.

Hari-hari berlalu, hampa dan tanpa arti. Dengan pakaian compang-camping dan tubuh penuh luka, ia berjalan sendirian, seperti hantu yang terlupakan. Dunia seakan tak peduli—hingga suatu malam, badai membawanya ke toko tua yang remang-remang, tempat terakhir yang mungkin bisa menampung sisa-sisa jiwanya yang hancur.

Di sana, seorang pria tua berjenggot putih dan bermata tajam menyambutnya. Pandangannya menusuk, seolah mampu melihat jauh ke dalam hati Wuqing yang terluka.

"Hei, anak muda! Mau berteduh dulu? Hujan ini tak pilih kasih. Tapi aku melihat amarah yang membara di balik matamu yang kosong."

Yan Wuqing tetap diam, tetapi tubuhnya yang lelah mengikuti suara itu. Ia masuk, duduk, menunduk, terbeban oleh kesedihan yang hampir menghancurkannya.

Pria tua itu, Ling Sho, penjaga toko herbal, lebih dari sekadar orang biasa. Ia mengamati Wuqing lama, melihat kegelapan yang mencengkeram jiwa muda itu. Suaranya lirih namun berwibawa.

"Kau tahu apa yang lebih menyakitkan dari kehilangan orang tercinta? Hidup tanpa tujuan, membiarkan kematian mereka sia-sia."

Kata-kata itu seperti pukulan telak ke jantung Wuqing. Kesedihan yang terpendam meledak, air mata yang tertahan selama ini mengalir deras, membasahi wajahnya yang penuh luka. Bayangan orang tuanya, senyum dan tawa mereka—semua kembali, namun kini diwarnai oleh kepedihan yang tak tertahankan. Rasa bersalah yang menggerogoti jiwanya.

"Jika kau ingin balas dendam… maka jadilah kekuatan yang tak terbendung. Tapi jika kau ingin mengubah takdirmu… maka jadilah seseorang yang bahkan takdir pun tak bisa mengendalikan." — Ling Sho

Yan Wuqing terdiam, kesadaran baru menyala dalam hatinya. Ling Sho mengeluarkan gulungan tua, berlapis kulit hitam dan tersegel simbol aneh.

"Ini warisan yang kutemukan dari reruntuhan sekte kuno. Aku tak bisa membukanya, tapi kamu… entah kenapa aku merasa kamu bisa."

Di dalamnya, tertulis teknik kultivasi tingkat tinggi—"Garis Dasar Jalan Tanpa Perasaan (无情根法)"—dasar untuk menapaki jalur kultivasi terdingin dan paling ditakuti: Wu Qing Dao, Jalan Tanpa Perasaan. Jalan yang menuntut pengorbanan besar, pengorbanan emosi dan hati nurani.

Malam itu, Yan Wuqing memulai kultivasinya. Ia menembus Tahap Pembukaan Qi (开气境), menahan rasa sakit yang luar biasa, rasa sakit yang menyamai hancurnya hatinya. Teknik ini menuntutnya untuk membuang emosi, membekukan hati, dan membiarkan akal yang memimpin. Pengorbanan yang amat berat.

Tangisan masa lalu bergema dalam pikirannya. Setiap tetes darah memanggil nama ayah dan ibunya. Namun, ia tak boleh menoleh. Ia harus melangkah maju, meskipun itu berarti mengubur kesedihannya dalam-dalam.

Keesokan harinya, Yan Wuqing berdiri di depan toko, tubuhnya masih gemetar, namun matanya telah berubah. Dingin. Tegas. Seperti bilah pedang es yang mematikan. Tatapannya kosong, namun di baliknya tersimpan tekad yang tak tergoyahkan.

"Terima kasih… Paman," katanya pelan, suaranya datar, tanpa emosi.

Ling Sho tersenyum tipis. "Jangan mati sia-sia, anak muda. Jika suatu saat dunia membencimu karena kekuatanmu, ingat bahwa seseorang pernah percaya padamu."

Yan Wuqing pergi. Hujan berhenti, namun langit tetap kelabu. Jalan menuju keabadian dimulai. Tak ada tawa masa kecil, tak ada keluarga. Hanya ambisi, balas dendam, dan keinginan untuk mengubah takdir yang telah merenggut segalanya darinya. Keinginan untuk membalas dendam yang membara, menghanguskan sisa-sisa kemanusiaannya.

"Dunia ini salah. Dan aku akan membetulkannya—dengan tangan sendiri."

Tetes Darah Pertama di Jalan Dingin

Langit masih mendung ketika Yan Wuqing meninggalkan toko tua Paman Ling Sho. Embusan angin pagi membawa hawa lembab semalam. Di pundaknya, hanya kantong kecil berisi herbal pemberian pamannya; di dalam dadanya, tekad baja yang baru ditempa.

Langkah pertamanya bukan menuju tempat ramai, melainkan Pegunungan Hunyuan—kuburan para kultivator gagal. Di sana, makhluk buas berkeliaran, spiritual qi yang ganas membuat banyak orang takut.

Namun bagi Wuqing, tempat itu ladang pelatihan terbaik. Ia tahu, untuk bertahan hidup, ia tak bisa berharap belas kasihan siapa pun.

Hari ke-3 di Gunung Hunyuan

Tubuhnya penuh luka, napasnya terengah. Di hadapannya, Serigala Besi Berlapis Batu—monster tingkat rendah yang bisa membunuh kultivator tahap awal.

Tapi Wuqing tidak lari.

Dengan napas berat dan tangan gemetar, ia menggerakkan formasi jarum spiritual dari gulungan warisan. Benang qi menyusup ke tanah, memicu perangkap.

"Ledak!"

Boom! Debu dan batu beterbangan. Serigala itu mengaung, sebagian tubuhnya terkoyak. Wuqing meloncat dan menusukkan belatinya ke titik vital.

Untuk pertama kalinya, darah makhluk buas membasahi tangannya. Dan… ia tidak merasakan apa pun.

"Bahkan rasa takut… mulai menghilang." — gumam Wuqing, menatap tangannya sendiri.

Malam Hari – Di Gua Bekas Kultivator

Di gua tua, Wuqing duduk bersila. Napasnya perlahan stabil. Luka-lukanya ditutup herbal dari Paman Ling. Yang terpenting: ia mulai merasakan sirkulasi Qi sejati di meridian-nya. Rasa sakit dan dingin dari teknik Wu Qing Dao mengalir seperti es yang membakar dari dalam.

Setiap langkah kultivasi terasa seperti menyayat batin dan tubuh. Tapi semakin ia tenggelam, semakin dingin pikirannya, dan semakin kuat auranya.

"Semakin aku buang perasaan ini… semakin jernih jalanku."

Tiga Minggu Kemudian – Pertemuan yang Mengubah

Suatu pagi, saat Wuqing berburu ramuan spiritual, ia menemukan gadis muda yang terbaring pingsan di dekat aliran sungai. Pakaiannya compang-camping, tapi dari simbol samar di ikat pinggangnya, ia tahu—gadis ini berasal dari Sekte Tianxue Shenzong.

Bai Qingxue. Gadis itu terluka parah, dalam misi uji masuk sekte. Tanpa disadari, Wuqing menyeretnya ke tempat aman dan merawat lukanya.

Ketika gadis itu sadar, mata beningnya menatap pemuda dingin yang mengaduk ramuan.

"Siapa kamu…?"

"Tak penting. Setelah kau bisa jalan, pergilah."

"Kalau begitu… terima kasih, Orang Dingin." — katanya sambil tersenyum tipis.

Untuk pertama kalinya sejak pembantaian itu, Wuqing merasakan sesuatu yang aneh—bukan cinta, bukan kasihan, tapi… gangguan pada kedamaian hatinya yang beku.

Bab 2: Jejak Darah di Jalan Es

Bai Qingxue, gadis dari Sekte Tianxue Shenzong, telah pulih. Luka-lukanya sembuh berkat ramuan yang diberikan Yan Wuqing, meskipun pemuda itu sendiri tetap dingin dan tak menunjukkan emosi. Ia hanya mengangguk singkat sebagai jawaban atas ucapan terima kasih Qingxue sebelum kembali melanjutkan pekerjaannya mengumpulkan herbal.

Qingxue menatap punggung Wuqing yang menjauh. Ada sesuatu yang aneh pada pemuda itu. Dinginnya bukan sekadar dingin biasa, melainkan dingin yang menusuk tulang, seolah-olah ia adalah patung es yang hidup. Namun, di balik dingin itu, Qingxue merasakan—sesuatu yang samar, seperti bara api yang terpendam di bawah lapisan es yang tebal.

Setelah mengucapkan salam perpisahan, Qingxue meninggalkan lembah, melangkah menuju jalannya sendiri. Wuqing tidak menghalanginya. Ia melanjutkan pekerjaannya, seolah kepergian Qingxue tak lebih dari hembusan angin yang tak berarti. Namun, dalam diam-diam, ia mengamati kepergian gadis itu hingga sosoknya menghilang di balik pepohonan.

Setelah beberapa saat, Wuqing kembali melanjutkan perjalanan. Ia tak punya tujuan pasti, hanya mengikuti naluri dan tekadnya untuk menjadi kuat. Jalan yang ia tempuh adalah jalan panjang dan penuh bahaya, jalan yang dipenuhi dengan darah dan kematian. Ia harus mengasah kemampuannya, menguji kekuatannya, dan mempersiapkan diri untuk membalaskan dendamnya.

Perjalanannya membawanya ke sebuah kota kecil yang terletak di perbatasan wilayah kerajaan. Kota ini tampak damai, namun di balik kedamaian itu, tersembunyi intrik dan perebutan kekuasaan antara berbagai klan dan sekte. Wuqing memilih untuk tetap berada di luar kota, berdiam di sebuah hutan kecil di pinggiran. Ia membutuhkan tempat yang tenang untuk berlatih dan memulihkan tenaganya.

Di hutan kecil itu, Wuqing menemukan sebuah gua tersembunyi. Gua itu tampak sederhana, namun di dalamnya terpancar aura spiritual yang cukup kuat. Ia memutuskan untuk menjadikan gua ini sebagai tempat tinggal sementara. Di dalam gua, ia melanjutkan kultivasinya, mengasah teknik Wu Qing Dao, dan mempelajari berbagai teknik pertarungan dari gulungan warisan yang diberikan Paman Ling Sho.

Setiap hari, Wuqing berlatih tanpa henti. Ia berlatih hingga tubuhnya lelah, hingga keringatnya membasahi tanah, hingga darahnya mengalir. Ia tak kenal lelah, tak kenal menyerah. Ia harus menjadi yang terkuat, untuk membalaskan dendamnya, untuk mengubah takdirnya.

Suatu hari, saat ia sedang berlatih di dekat aliran sungai, ia mendengar suara jeritan. Suara itu berasal dari arah hutan. Wuqing mengerutkan kening. Ia tidak suka gangguan, tetapi nalurinya mendorongnya untuk menyelidiki sumber suara tersebut.

Ia berjalan menuju sumber suara, hati-hati dan waspada. Ia melihat sekelompok bandit sedang menyerang seorang pedagang tua. Pedagang itu tampak lemah dan tak berdaya. Bandit-bandit itu kejam dan tak berperasaan.

Wuqing berhenti sejenak. Ia teringat pada orang tuanya, pada malam tragis yang telah merenggut segalanya darinya. Amarah membara di dalam hatinya, namun ia berhasil mengendalikannya. Ia tidak akan membiarkan dirinya dikuasai oleh emosi. Ia akan bertindak dengan akal dan kekuatannya.

Dengan langkah tenang dan pasti, Wuqing mendekat. Ia tidak mengeluarkan suara, hanya muncul secara tiba-tiba di hadapan para bandit. Para bandit terkejut melihat kehadirannya. Mereka belum pernah melihat seseorang yang sedingin dan setegas Wuqing.

"Berhenti!" suara Wuqing dingin dan tajam, menusuk hati para bandit.

Pertempuran pun tak terhindarkan. Wuqing mengalahkan para bandit dengan cepat dan efisien. Ia tidak menunjukkan belas kasihan. Ia membunuh mereka dengan dingin dan tanpa ampun. Setelah pertempuran berakhir, pedagang tua itu hanya bisa menatap Wuqing dengan mata yang penuh syukur. Wuqing hanya mengangguk singkat sebelum kembali melanjutkan perjalanannya. Jejak darah para bandit menjadi saksi bisu atas kekuatannya yang baru terbangun. Jalan menuju keabadian masih panjang, namun langkah Wuqing semakin pasti. Ia telah memulai perjalanan panjangnya, dan tidak akan berhenti hingga dendamnya terbalaskan.

Bab 3: Bayangan di Balik Hutan Bambu

Setelah membantu pedagang tua itu, Yan Wuqing kembali ke gua pertapaannya. Ia melanjutkan latihannya, mengasah teknik Wu Qing Dao hingga tubuhnya terasa seperti akan remuk. Hujan rintik-rintik menemani kesunyian latihannya, menambah hawa dingin yang sudah menyelimuti dirinya. Ia fokus pada aliran Qi di dalam tubuhnya, membiarkan dinginnya teknik kultivasi itu merasuk ke dalam setiap selnya. Ia berusaha untuk membuang setiap sisa emosi, membentuk dirinya menjadi senjata yang sempurna, tanpa cela dan tanpa ampun.

Namun, ketenangannya terusik. Sebuah bayangan gelap bergerak cepat di balik rimbunnya hutan bambu di dekat gua. Wuqing menghentikan latihannya, indera pendengarannya menangkap suara langkah kaki yang terselubung. Bukan langkah kaki biasa, melainkan langkah kaki yang terlatih, yang terbiasa bergerak dalam bayangan.

Wuqing berdiri, tubuhnya tegang seperti busur yang siap melepaskan panahnya. Ia merasakan aura yang berbahaya mendekat. Aura yang asing, yang tidak dikenalnya. Ia bersiap menghadapi apa pun yang akan datang.

Dari balik hutan bambu, muncullah tiga sosok berjubah hitam. Mereka bergerak dengan lincah dan senyap, seperti hantu yang melayang di antara pepohonan. Wajah mereka tertutupi oleh tudung, sehingga identitas mereka tak terlihat. Namun, aura jahat yang terpancar dari tubuh mereka cukup untuk membuat siapa pun merasa ngeri.

"Kau cukup kuat untuk mengalahkan bandit-bandit itu," suara dingin terdengar, berasal dari sosok yang berada di tengah. Suaranya seperti bisikan ular yang merayap di telinga.

"Aku tidak mencari masalah," jawab Wuqing, suaranya datar tanpa emosi. Ia tidak takut, bahkan ia tampak tenang dan siap bertempur.

Namun, ketiga sosok berjubah hitam itu langsung menyerang. Mereka bergerak dengan cepat dan terkoordinasi, serangan mereka mematikan dan tepat sasaran. Wuqing terpaksa membalas, teknik Wu Qing Dao yang dingin dan mematikan dipadukan dengan gerakannya yang lincah dan tepat.

Pertempuran sengit pun terjadi. Udara dipenuhi dengan desingan senjata dan benturan tubuh. Wuqing melawan dengan gigih, ia tak menunjukkan kelemahan sedikit pun. Meskipun jumlah lawan lebih banyak, ia mampu mengimbangi mereka dengan kekuatan dan tekniknya yang luar biasa.

Setelah pertarungan yang melelahkan, Wuqing berhasil mengalahkan ketiga sosok berjubah hitam itu. Ia tidak membunuh mereka, hanya melukai mereka cukup parah untuk membuat mereka tak mampu bergerak. Sebelum mereka kehilangan kesadaran, Wuqing mengambil sebuah kantong kecil yang terjatuh dari salah satu dari mereka.

Kantong itu terbuat dari kulit binatang yang telah usang. Di dalamnya, terdapat beberapa gulungan perkamen dan beberapa koin emas. Wuqing memeriksa isi kantong itu dengan hati-hati. Ia menemukan sebuah sobekan kecil di salah satu gulungan perkamen. Sobekan itu tampak sengaja dibuat, seolah-olah ada sesuatu yang disembunyikan di baliknya. Wuqing tidak tahu apa yang disembunyikan di balik sobekan itu, namun ia merasakan ada sesuatu yang penting dan misterius di baliknya. Ia menyimpan kantong itu dengan hati-hati, mengingat bahwa ini mungkin menjadi petunjuk penting untuk mengungkap misteri di balik penyerangan tersebut. Perjalanan panjangnya menuju keabadian masih dipenuhi dengan bahaya dan misteri. Ia harus selalu waspada dan siap menghadapi apa pun yang akan datang.

Bab 4: Misteri Sobekan Perkamen

Yan Wuqing kembali ke gua pertapaannya. Luka-luka ringan akibat pertarungan tadi sudah sembuh berkat herbal yang ia kumpulkan. Ia duduk bersila, pikirannya melayang pada kantong kulit dan sobekan misterius di gulungan perkamen yang ia temukan. Ia membuka kantong itu kembali, memeriksa isinya dengan teliti.

Gulungan perkamen lainnya berisi catatan perjalanan, daftar nama, dan beberapa simbol yang tak dikenalnya. Namun, perhatiannya tetap tertuju pada gulungan yang robek. Ia mencoba menyatukan sobekan itu, tetapi hasilnya sia-sia. Sobekan itu terlalu kecil dan tidak memberikan petunjuk apa pun.

Wuqing menghela napas. Ia bukan ahli dalam memecahkan kode atau mengartikan simbol kuno. Ia membutuhkan bantuan. Namun, siapa yang bisa ia percayai? Paman Ling Sho? Kemungkinan itu ada, tetapi jarak yang jauh dan bahaya perjalanan membuat Wuqing ragu.

Ia memutuskan untuk sementara mengesampingkan misteri sobekan perkamen itu. Ia harus fokus pada kultivasinya. Kekuatan adalah kunci untuk bertahan hidup di dunia ini, dan kekuatan adalah satu-satunya hal yang ia butuhkan untuk membalaskan dendamnya.

Hari-hari berlalu. Wuqing berlatih tanpa henti, mengasah teknik Wu Qing Dao dan mempertajam insting bertarungnya. Ia menjelajahi Pegunungan Hunyuan, berburu binatang buas dan mengumpulkan ramuan spiritual. Tubuhnya semakin kuat, aura dinginnya semakin pekat.

Suatu hari, saat ia sedang bermeditasi di dalam gua, ia merasakan getaran aneh di dalam tanah. Getaran itu semakin kuat, menciptakan resonansi yang menggetarkan seluruh gua. Wuqing membuka matanya, merasakan sesuatu yang tidak biasa.

Ia keluar dari gua, melihat ke sekeliling. Langit mendung, angin bertiup kencang, dan di kejauhan, ia melihat cahaya merah menyala di puncak gunung. Cahaya itu semakin terang, menciptakan pemandangan yang menakutkan dan megah.

Wuqing merasakan aura yang sangat kuat dari arah cahaya itu. Aura itu berbeda dari aura yang ia rasakan dari para bandit berjubah hitam. Aura ini lebih tua, lebih dalam, dan lebih berbahaya. Ia merasakan sebuah kekuatan yang misterius dan tak terduga.

Tanpa ragu, Wuqing berjalan menuju sumber cahaya itu. Ia harus tahu apa yang terjadi. Ia harus tahu apa yang menyebabkan getaran aneh dan cahaya merah menyala itu. Ia harus tahu apa yang tersembunyi di balik misteri itu. Perjalanan panjangnya telah membawanya ke titik ini, dan ia tak akan pernah berhenti sebelum mengungkap semua rahasia yang tersimpan di dunia ini. Sobekan perkamen itu mungkin hanya sebuah petunjuk kecil, tetapi petunjuk itu telah membawanya ke sebuah misteri yang lebih besar dan lebih berbahaya. Ia harus siap menghadapi apa pun yang akan datang.

Bab 5: Perburuan di Puncak Gunung Api

Cahaya merah menyala itu berasal dari puncak Gunung Api Unggun Abadi, sebuah gunung berapi yang telah lama dianggap sebagai tempat terlarang. Asap hitam membumbung tinggi, menandakan kekuatan dahsyat yang tersimpan di dalamnya. Yan Wuqing, tanpa rasa takut, memanjat gunung itu, langkahnya ringan dan pasti, meskipun lereng gunung yang terjal dan panas.

Di puncak gunung, ia menyaksikan pertempuran dahsyat antara lima kultivator tingkat Tribulation Stage. Aura mereka begitu kuat, mengguncang langit dan bumi. Teknik-teknik kultivasi tingkat tinggi mereka menciptakan pusaran energi yang dahsyat, menghancurkan bebatuan dan menghancurkan segalanya di sekitarnya.

Wuqing mengintai dari balik bebatuan vulkanik, mengamati pertempuran itu dengan hati-hati. Ia tidak tahu apa yang mereka perjuangkan, tetapi ia merasakan aura kematian yang sangat kuat. Kelima kultivator itu bertempur dengan sengit, tanpa menunjukkan belas kasihan. Serangan mereka mematikan, dan setiap benturan menghasilkan ledakan energi yang menggetarkan.

Setelah pertempuran yang panjang dan melelahkan, salah satu kultivator itu tewas, tubuhnya hancur berkeping-keping oleh serangan gabungan lawan-lawannya. Empat kultivator yang tersisa tampak kelelahan, namun mereka masih bernafsu untuk merebut sesuatu. Wuqing melihat mereka saling bertukar pandang, kemudian mereka meninggalkan puncak gunung, meninggalkan mayat kultivator yang tewas tergeletak di sana.

Ini adalah kesempatan Wuqing. Dengan cepat dan senyap, ia mendekati mayat itu. Ia memeriksa tubuh kultivator yang tewas, mencari sesuatu yang berharga. Ia menemukan sebuah kantong kecil yang tersembunyi di balik jubahnya.

Wuqing mengambil kantong itu dan bergegas pergi sebelum keempat kultivator itu kembali. Ia membuka kantong itu di tempat yang aman. Di dalamnya, ia menemukan beberapa gulungan perkamen dan sebuah pil yang memancarkan aura energi yang sangat kuat. Pil itu berwarna merah darah, berbentuk seperti tetesan darah, dan memancarkan aura yang misterius dan menakutkan.

Wuqing mengenali pil itu. Ini adalah Pil Lonjakan Darah, sebuah pil yang sangat langka dan berbahaya. Pil ini dapat meningkatkan kultivasi secara drastis, namun juga memiliki efek samping yang sangat berbahaya. Jika dikonsumsi oleh kultivator yang belum siap, pil ini dapat menyebabkan kematian.

Wuqing terdiam sejenak. Ia teringat pada sumpahnya, pada tekadnya untuk menjadi yang terkuat. Ia membutuhkan kekuatan, dan pil ini adalah kesempatan yang sangat langka. Ia tahu risikonya, namun ia memutuskan untuk menerimanya.

"Demi membalaskan dendamku… demi mengubah takdirku… aku akan mengambil risiko ini."

Wuqing menelan pil itu. Rasa panas dan dingin yang luar biasa mengalir di dalam tubuhnya. Energi yang sangat besar mengalir di dalam meridiannya, menciptakan tekanan yang luar biasa. Tubuhnya bergetar hebat, namun ia bertahan. Ia mengendalikan aliran energi itu dengan kekuatan pikirannya, mengalirkannya ke seluruh tubuhnya.

Dalam sekejap, kultivasinya meningkat secara drastis. Ia menembus batas Tahap Pembentukan Qi, melewati tahap selanjutnya, dan mencapai puncak Tahap Pembentukan Jiwa. Kekuatannya meningkat berkali-kali lipat. Ia merasakan kekuatan yang luar biasa mengalir di dalam tubuhnya. Ia telah menjadi jauh lebih kuat.

Namun, efek samping Pil Lonjakan Darah mulai terasa. Tubuhnya terasa sangat panas, dan ia merasakan sakit yang luar biasa. Darah mengalir dari hidung dan mulutnya. Namun, ia bertahan. Ia tidak akan menyerah. Ia akan menggunakan kekuatan barunya untuk membalaskan dendamnya dan mengubah takdirnya. Jalan menuju keabadian masih panjang, tetapi kini, langkahnya semakin pasti dan kekuatannya semakin tak terbendung.

Bab 6: Mencari Jejak di Kota Seribu Pagoda

Setelah berbulan-bulan berlatih di kedalaman Pegunungan Hunyuan, Yan Wuqing memutuskan untuk meninggalkan gua pertapaannya. Kekuatannya telah meningkat pesat, namun ia masih membutuhkan informasi dan sumber daya untuk mencapai tujuan utamanya: membalaskan dendam dan mengubah takdirnya. Ia memutuskan untuk menuju Kota Seribu Pagoda, sebuah kota besar yang terkenal dengan pasar gelapnya dan pelelangan barang-barang langka serta berbahaya. Kota ini merupakan pusat perdagangan dan informasi di wilayah tersebut, tempat yang ideal untuk mencari petunjuk tentang organisasi yang telah menghancurkan desanya.

Perjalanan menuju Kota Seribu Pagoda memakan waktu beberapa hari. Wuqing melewati hutan lebat, menyeberangi sungai yang deras, dan menghindari berbagai bahaya yang mengintai di sepanjang jalan. Ia tetap waspada, selalu siap menghadapi ancaman yang mungkin muncul. Kemampuannya dalam bertempur dan bertahan hidup telah terasah dengan baik selama berlatih di Pegunungan Hunyuan.

Akhirnya, ia sampai di Kota Seribu Pagoda. Kota ini ramai dan semarak, dipenuhi dengan berbagai macam orang dari berbagai latar belakang. Wuqing memilih untuk beristirahat sejenak di sebuah kedai teh di pinggir jalan. Ia memesan secangkir teh hangat dan menikmati suasana ramai kota.

Saat ia menikmati tehnya, ia mendengar percakapan antara dua orang di meja sebelah. Mereka membicarakan sebuah pelelangan yang akan diadakan malam ini. Pelelangan itu akan menampilkan sebuah benda yang sangat berharga dan misterius, sesuatu yang konon memiliki kekuatan yang luar biasa.

Percakapan itu menarik perhatian Wuqing. Ia penasaran dengan benda yang akan dilelang. Mungkin benda itu berkaitan dengan organisasi yang telah menghancurkan desanya. Ia harus melihatnya sendiri.

Tanpa menunggu lebih lama, Wuqing bergegas meninggalkan kedai teh. Ia menuju lokasi pelelangan, sebuah gedung megah yang terletak di pusat kota. Ia melangkah dengan pasti, langkahnya penuh dengan tekad. Ia akan melakukan apa pun untuk mendapatkan informasi yang ia butuhkan. Ia akan mengungkap kebenaran di balik kematian orang tuanya, dan ia akan membalaskan dendamnya.

Di depan gedung pelelangan, Wuqing melihat banyak orang berkumpul. Mereka tampak kaya dan berpengaruh, berasal dari berbagai klan dan sekte. Wuqing menyelinap masuk ke dalam kerumunan, mencoba untuk tidak menarik perhatian. Ia mengamati orang-orang di sekitarnya, mencari petunjuk atau informasi yang mungkin berguna.

Di dalam gedung pelelangan, suasana sangat ramai dan meriah. Para peserta pelelangan duduk di meja-meja yang telah disiapkan. Seorang pembawa acara berdiri di atas panggung, menjelaskan aturan pelelangan. Wuqing duduk di sudut ruangan, mengamati segalanya dengan cermat. Ia menunggu benda misterius itu muncul. Ia merasakan ada sesuatu yang menarik dan berbahaya di balik pelelangan ini. Ia harus berhati-hati. Ia harus siap menghadapi apa pun yang akan terjadi. Jalan menuju kebenaran masih panjang dan penuh dengan bahaya.

Bab 7: Benda Terakhir dan Dendam yang Membara

Pelelangan di Kota Seribu Pagoda berlangsung meriah. Berbagai benda berharga, mulai dari senjata ajaib hingga ramuan langka, telah berpindah tangan. Namun, Yan Wuqing tetap tenang, matanya mengamati setiap detail, mencari sesuatu yang berhubungan dengan masa lalunya. Ia tak tertarik pada harta benda, hanya informasi yang ia cari.

Suasana berubah tegang ketika benda terakhir diletakkan di atas meja pelelang. Benda itu terbungkus kain hitam, dijaga ketat oleh beberapa pengawal berwajah dingin. Ruangan menjadi gelap, hanya cahaya lilin yang menerangi benda misterius itu. Suasana mencekam, menciptakan antisipasi yang menegangkan.

Ketika kain hitam itu dibuka, terlihat sebuah gulungan perkamen kuno, terlihat usang namun memancarkan aura misterius. Di satu sudutnya, terdapat sobekan kecil, mirip dengan sobekan yang ia temukan di kantong milik bandit berjubah hitam. Detak jantung Wuqing berdebar kencang. Ia yakin, gulungan ini pasti menyimpan rahasia penting.

Pelelang memulai tawaran. Harga terus meningkat, menunjukkan betapa berharganya gulungan itu. Wuqing ikut menawar, dengan tenang dan terukur. Ia tidak ingin menarik perhatian yang tidak perlu, namun ia bertekad untuk mendapatkan gulungan itu.

Namun, muncul seorang penawar misterius. Tawarannya sangat tinggi, melebihi kemampuan Wuqing. Sosok itu terselubung bayangan, tetapi Wuqing berhasil melihat sekilas jubah dan lambang klannya. Lambang itu… ia mengenalnya. Lambang klan yang sama dengan klan yang telah membantai desanya dua puluh tahun lalu! Darah mendidih di dalam tubuhnya. Ini adalah mereka! Pelaku di balik kematian orang tuanya!

Amarah yang selama ini ia pendam meledak. Dinginnya Wu Qing Dao seakan mencair, diganti oleh api dendam yang membara. Ia tidak peduli lagi dengan penyamaran. Ia berdiri, menatap sosok misterius itu dengan tatapan penuh kebencian.

"Gulungan itu… milikku!" suara Wuqing menggema di ruangan, berisi amarah yang tak terbendung.

Sosok misterius itu tertawa mengejek. Ia menyingkap sebagian wajahnya, menunjukkan senyum sinis yang membuat Wuqing semakin geram. Ia adalah salah satu dari para pemimpin klan yang telah menghancurkan desanya.

"Kau berani menantangku, bocah?" ucapnya dengan nada meremehkan.

Tanpa menunggu jawaban, pertarungan pun dimulai. Wuqing menyerang dengan kekuatan penuh, teknik Wu Qing Dao yang mematikan dipadukan dengan amarah yang membara. Ia tidak lagi mengendalikan emosinya, ia membiarkan amarah membimbing setiap gerakannya. Pertempuran sengit terjadi di tengah ruangan, menghancurkan berbagai perabotan dan membuat para peserta pelelangan berhamburan menyelamatkan diri.

Kekuatan Wuqing yang telah meningkat pesat mampu menandingi lawannya. Namun, lawannya juga sangat kuat, pengalamannya dalam pertempuran jauh lebih banyak. Pertarungan berlanjut, menentukan siapa yang akan mendapatkan gulungan perkamen itu, dan lebih penting lagi, siapa yang akan membalaskan dendam yang telah terpendam selama dua puluh tahun. Nasib Yan Wuqing dan balas dendamnya kini bergantung pada pertempuran ini.

Bab 8: Kejaran di Kota Seribu Pagoda

Pertarungan antara Yan Wuqing dan pemimpin klan itu berlangsung sengit. Kekuatan Wuqing yang telah meningkat pesat mampu menandingi lawannya, namun pengalaman dan tingkatan kultivasi lawan yang jauh lebih tinggi membuat Wuqing berada dalam posisi yang sulit. Setiap serangan lawan terasa seperti gunung yang menghantamnya, menciptakan luka-luka yang semakin parah di tubuhnya.

Tiba-tiba, seorang tetua pelelangan yang berwajah merah padam karena amarah menerjang masuk ke tengah pertempuran. Rumah lelangnya hancur berantakan, barang-barang berharga porak-poranda. Ia berteriak lantang, mengutuk kedua petarung itu dan memerintahkan seluruh penjaga kota untuk menangkap mereka.

Mendengar perintah itu, para penjaga kota berhamburan masuk, mengepung Wuqing dan pemimpin klan tersebut. Mereka adalah kultivator terlatih, bergerak dengan terkoordinasi dan disiplin. Wuqing yang sudah terluka parah kini menghadapi ancaman ganda: pemimpin klan yang kuat dan para penjaga kota yang tak kenal lelah.

Melihat situasi yang semakin genting, Wuqing memutuskan untuk mundur. Ia tak mungkin mengalahkan pemimpin klan itu dalam kondisi terluka seperti ini, dan menghadapi para penjaga kota sendirian adalah bunuh diri. Dengan gerakan lincah, ia menghindari serangan pemimpin klan dan menerobos kepungan para penjaga kota.

Namun, para penjaga kota bukanlah lawan yang mudah ditaklukkan. Mereka menggunakan strategi cerdas, membuat jebakan dan memanfaatkan medan untuk menghentikan Wuqing. Mereka membagi diri, sebagian mengejar Wuqing sementara yang lain menghadapi pemimpin klan. Wuqing berlari melewati jalan-jalan sempit Kota Seribu Pagoda, bermanuver di antara kerumunan orang yang panik. Ia menggunakan setiap sudut dan lorong untuk menghindari pengejaran.

Luka-lukanya semakin parah, napasnya terengah-engah, dan Qi-nya mulai melemah. Namun, ia tetap berlari, tekadnya tak pernah padam. Ia harus melarikan diri untuk hidup, untuk membalaskan dendamnya di lain waktu.

Di tengah pelariannya, ia menemukan sebuah lorong gelap dan sempit. Ia masuk ke lorong itu, berharap bisa menghindari pengejaran. Lorong itu ternyata merupakan saluran air bawah tanah yang gelap dan lembab. Ia berjalan di antara genangan air, berhati-hati agar tidak terjatuh.

Di ujung lorong, ia menemukan sebuah pintu keluar yang menuju ke luar kota. Ia keluar dari saluran air, menemukan dirinya berada di sebuah hutan kecil di pinggiran kota. Ia telah berhasil lolos dari pengejaran para penjaga kota.

Ia bersandar di sebuah pohon, napasnya memburu. Luka-lukanya sangat parah, dan tubuhnya terasa lemah. Namun, ia tersenyum tipis. Ia telah berhasil melarikan diri. Ia masih hidup. Ia akan kembali, lebih kuat dari sebelumnya, untuk membalaskan dendamnya dan mengalahkan pemimpin klan itu. Perjalanannya masih panjang, namun ia tidak akan pernah menyerah. Ia akan terus berjuang, sampai tujuannya tercapai. Ia akan mengungkap semua rahasia yang tersembunyi, dan membalaskan kematian orang tuanya.

Bab 9: Bayangan Masa Lalu dan Kemarahan yang Membara

Kekalahan di Kota Seribu Pagoda membuat pemimpin Klan Serigala Besi, Lord Jian, amat murka. Ia tak pernah menyangka akan dikalahkan oleh seorang pemuda yang bahkan belum mencapai puncak Tribulation Stage. Kejadian itu bukan sekadar kekalahan, melainkan penghinaan besar bagi Klan Serigala Besi yang selama ini dikenal sebagai salah satu klan terkuat di wilayah tersebut.

Lord Jian memerintahkan seluruh anak buahnya untuk mencari Yan Wuqing, mati atau hidup. Ia harus menemukan pemuda itu dan membawanya ke hadapannya. Ia ingin memastikan bahwa pemuda itu tidak akan pernah lagi mengancam kekuasaannya. Lord Jian sendiri yang memimpin penyelidikan, mencampur adukkan amarah, rasa malu, dan sedikit rasa takut yang tak pernah ia akui. Kekuatan Wuqing yang melampaui usianya membuat Lord Jian curiga akan adanya sesuatu yang lebih besar di balik pemuda itu.

Beberapa hari berlalu, pencarian terus dilakukan. Anak buah Lord Jian menyebar ke seluruh penjuru, mencari setiap petunjuk tentang keberadaan Wuqing. Mereka menanyai penduduk desa, mencari informasi di pasar gelap, dan memeriksa catatan perjalanan. Upaya mereka membuahkan hasil. Seorang informan di Kota Seribu Pagoda memberikan informasi penting: seorang pemuda yang selamat dari pembantaian Desa Bulan Purnama dua puluh tahun lalu masih hidup. Pemuda itu, Yan Wuqing, diyakini memiliki kekuatan yang luar biasa.

Informasi ini membuat Lord Jian semakin geram dan marah. Ia ingat tragedi Desa Bulan Purnama dengan jelas. Pembantaian itu dilakukan atas perintahnya, untuk merebut artefak kuno yang konon tersimpan di desa tersebut. Ia telah membunuh semua penduduk desa, tidak menyisakan seorang pun hidup. Namun, seorang pemuda ternyata masih hidup. Keberadaan Wuqing menjadi bukti kegagalannya, bukti bahwa ia telah meremehkan kekuatan yang tersembunyi di balik pemuda itu.

Lebih dari itu, Lord Jian merasakan sedikit rasa takut. Ia takut akan kekuatan Wuqing yang telah berkembang pesat. Ia takut bahwa Wuqing akan membalas dendam dan menghancurkan Klan Serigala Besi. Ia takut akan konsekuensi dari tindakannya dua puluh tahun lalu. Keberadaan Wuqing telah membangkitkan kembali bayangan masa lalu yang kelam, mengingatkannya akan dosa-dosa yang telah ia perbuat. Ia harus menemukan Wuqing, tidak hanya untuk membungkamnya, tetapi juga untuk menenangkan rasa takut yang mulai menggerogoti jiwanya. Ia harus memastikan bahwa rahasia pembantaian Desa Bulan Purnama tetap terkubur selamanya. Namun, bayangan pemuda itu, Yan Wuqing, telah menjadi mimpi buruk yang menghantuinya.

Bab 10: Pertemuan Rahasia di Puncak Gunung Tertinggi

Bayangan Yan Wuqing terus menghantui Lord Jian, pemimpin Klan Serigala Besi. Mimpi buruk tentang pemuda itu dan tragedi Desa Bulan Purnama tak pernah meninggalkannya. Ketakutan dan amarah bercampur aduk dalam dirinya. Ia tahu, ia harus bertindak cepat sebelum Wuqing menjadi ancaman yang lebih besar.

Lord Jian memanggil para tetua dari berbagai klan yang terlibat dalam tragedi Desa Bulan Purnama dua puluh tahun lalu. Pertemuan rahasia diadakan di puncak Gunung Tianjian, gunung tertinggi di wilayah tersebut. Udara di puncak gunung dingin dan menusuk, mencerminkan suasana tegang yang menyelimuti para tetua yang hadir.

Lima tetua dari lima klan berbeda berkumpul. Mereka adalah:

- Lord Jian: Pemimpin Klan Serigala Besi.

- Tetua Li: Pemimpin Klan Naga Emas.

- Tetua Mei: Pemimpin Klan Phoenix Api.

- Tetua Zhang: Pemimpin Klan Harimau Putih.

- Tetua Chen: Pemimpin Klan Ular Hitam.

Lord Jian memulai pertemuan dengan wajah tegang. Ia menjelaskan tentang kemunculan kembali Yan Wuqing dan kekuatannya yang luar biasa. Ia menekankan betapa bahayanya Wuqing bagi mereka semua. Ia mengatakan bahwa Wuqing adalah satu-satunya yang selamat dari pembantaian Desa Bulan Purnama, dan kini ia telah tumbuh menjadi ancaman yang serius.

Tetua Li, dari Klan Naga Emas, menyatakan keprihatinannya. Ia mengatakan bahwa mereka harus berhati-hati dalam menangani masalah ini. Ia mengingatkan mereka tentang kekuatan Wuqing dan potensi bahaya yang bisa ditimbulkan jika mereka bertindak gegabah.

Tetua Mei, dari Klan Phoenix Api, menyarankan agar mereka bekerja sama untuk menghadapi Wuqing. Ia mengatakan bahwa kekuatan mereka akan jauh lebih besar jika mereka bersatu. Ia menekankan pentingnya kerjasama antar klan untuk mengatasi ancaman ini.

Tetua Zhang, dari Klan Harimau Putih, mengusulkan agar mereka mencari tahu lebih banyak tentang kekuatan dan latar belakang Wuqing. Ia mengatakan bahwa mereka harus mengumpulkan informasi sebanyak mungkin sebelum mengambil tindakan. Ia menekankan perlunya kecerdasan dan strategi dalam menghadapi Wuqing.

Tetua Chen, dari Klan Ular Hitam, menambahkan bahwa mereka harus memastikan bahwa rahasia pembantaian Desa Bulan Purnama tetap terjaga. Ia mengatakan bahwa mereka tidak boleh membiarkan siapa pun mengetahui keterlibatan mereka dalam tragedi tersebut. Ia menekankan pentingnya kerahasiaan dan perlindungan reputasi klan mereka.

Setelah berdiskusi panjang, para tetua sepakat untuk bekerja sama untuk menghadapi Yan Wuqing. Mereka akan menggunakan semua sumber daya dan kekuatan mereka untuk menemukan dan menyingkirkan pemuda itu. Mereka menyadari bahwa Wuqing adalah ancaman yang serius, dan mereka harus bertindak cepat dan efektif untuk mencegahnya membongkar rahasia mereka dan membalaskan dendamnya. Namun, di balik kesepakatan itu, masing-masing tetua menyimpan kekhawatiran dan rencana rahasia mereka sendiri. Pertemuan itu berakhir, meninggalkan bayangan gelap di puncak Gunung Tianjian, mencerminkan bahaya yang mengintai di masa depan.

Bab 11: Perintah Pembunuhan dan Pemulihan yang Sulit

Pertemuan para tetua di puncak Gunung Tianjian berakhir dengan kesepakatan yang mengerikan. Meskipun awalnya ada kekhawatiran tentang potensi bahaya yang akan ditimbulkan oleh Yan Wuqing, rasa takut akan terbongkarnya rahasia pembantaian Desa Bulan Purnama dan ancaman bagi kekuasaan mereka akhirnya mengalahkan pertimbangan lain.

Tetua Zhang, dari Klan Harimau Putih, mengajukan sebuah ide yang kejam namun efektif. Ia mengusulkan agar setiap anggota dari kelima klan tersebut, tanpa terkecuali, diberikan perintah untuk membunuh Yan Wuqing di tempat jika mereka melihatnya. Tidak ada negosiasi, tidak ada ampun. Pembunuhan di tempat adalah satu-satunya solusi.

Usulan ini disambut dengan persetujuan dari para tetua lainnya. Lord Jian, yang masih dihantui oleh bayangan Wuqing, dengan cepat menyetujui usulan tersebut. Bagi mereka, Wuqing bukanlah sekadar ancaman, melainkan sebuah bom waktu yang siap meledak kapan saja dan menghancurkan segalanya. Lebih baik membunuh Wuqing sekarang daripada menghadapi konsekuensi yang lebih buruk di masa depan.

Perintah pembunuhan itu pun disebarluaskan ke seluruh wilayah kekuasaan kelima klan tersebut. Dari desa-desa terpencil hingga kota-kota besar, nama Yan Wuqing menjadi target yang harus dihilangkan. Poster-poster dengan gambar Wuqing dan deskripsi ciri-cirinya ditempel di setiap sudut, menciptakan suasana ketakutan dan ketegangan di antara penduduk. Setiap orang yang melihat Wuqing diwajibkan untuk membunuhnya, tanpa ragu dan tanpa ampun.

Sementara itu, di sebuah tempat terpencil dan rahasia, Yan Wuqing sedang memulihkan diri dari luka-lukanya. Ia tidak menyadari perintah pembunuhan yang telah dikeluarkan oleh kelima klan tersebut. Ia fokus pada pemulihan kekuatannya, menyiapkan diri untuk menghadapi tantangan yang akan datang. Ia berlatih dengan tekun, mengasah kemampuannya, dan mempelajari teknik-teknik baru. Ia tahu bahwa perjalanannya masih panjang dan penuh dengan bahaya. Ia harus menjadi lebih kuat, lebih tangguh, untuk membalaskan dendamnya dan mencapai tujuannya. Ia tidak menyadari bahwa bayangan kematian telah mendekatinya, mengintai di setiap sudut, menunggu kesempatan untuk mengakhiri hidupnya. Pertempuran yang sebenarnya baru akan dimulai.

Bab 12: Pertemuan Tak Terduga di Jalan Sunyi

Setelah berminggu-minggu memulihkan diri di dalam gua tersembunyi, Yan Wuqing merasa cukup pulih. Meskipun luka-lukanya masih terasa sedikit nyeri, ia memutuskan untuk keluar dan mencari ramuan langka untuk meningkatkan kultivasinya. Ia membutuhkan kekuatan yang lebih besar untuk menghadapi ancaman yang mungkin datang.

Ia berjalan menyusuri jalan setapak yang sunyi, mencari tumbuhan obat yang ia butuhkan. Namun, setelah berhari-hari mencari, ia menyadari bahwa ramuan yang ia butuhkan tidak tumbuh di daerah ini. Ia harus pergi ke kota terdekat untuk mendapatkannya.

Saat ia bersiap untuk melanjutkan perjalanan menuju kota, ia melihat seorang lelaki tua dan seorang gadis muda sedang duduk di bawah pohon besar di pinggir jalan. Lelaki tua itu tampak sedang membaca sebuah gulungan perkamen, sedangkan gadis muda itu sedang memperhatikannya dengan penuh perhatian.

Wuqing mendekat dengan hati-hati. Ia mendengar percakapan mereka.

"Ayah, apakah kita benar-benar harus pergi ke Kota Seribu Pagoda?" tanya gadis muda itu, suaranya lembut dan sedikit cemas. Nama gadis itu adalah Lin Xueer.

"Ya, Xueer," jawab lelaki tua itu, suaranya berat dan tegas. Nama lelaki tua itu adalah Tuan Li. Ia meletakkan gulungan perkamen dan menatap wajah Xueer dengan penuh perhatian. "Kita harus mendapatkan ramuan itu untuk menyembuhkan penyakitmu."

"Tapi Ayah, aku takut," kata Xueer, memegang tangan Tuan Li dengan erat. "Aku mendengar banyak cerita tentang bahaya di Kota Seribu Pagoda."

"Jangan takut, Xueer," kata Tuan Li, menenangkan Xueer. "Ayah akan selalu melindungimu." Ia menunjukkan sebuah poster yang dipegangnya. "Lihat, ini adalah orang yang harus kita hindari. Dia sangat berbahaya."

Poster itu menampilkan gambar Yan Wuqing. Lin Xueer mengerutkan kening. Ia melihat ke arah Yan Wuqing yang berdiri di dekat mereka, dan matanya melebar. Ia menyadari bahwa pemuda yang sedang berdiri di dekat mereka sangat mirip dengan orang yang ada di poster.

"Ayah… apakah… apakah dia…?" kata Xueer, suaranya gemetar.

Tuan Li menatap Yan Wuqing dengan tajam. Ia menyadari bahwa pemuda itu memang sangat mirip dengan orang yang ada di poster. Ia mengangkat tangannya, menunjukkan isyarat agar Xueer tetap tenang. Ia harus berhati-hati. Pemuda di depannya mungkin adalah target yang sangat berbahaya. Ia harus memutuskan tindakan yang tepat untuk melindungi Xueer.