Namanya Yoga.
Seorang bocah yang sejak lahir telah kehilangan kehangatan seorang ibu, dan kini tak lagi memiliki sosok ayah. Ia tinggal seorang diri di sebuah rumah tua yang rapuh, jauh dari tawa, jauh dari pelukan.
Ibunya, Amillia, mengembuskan napas terakhir tepat setelah melahirkannya. Dengan mata yang berkaca-kaca, ia hanya sempat menatap anaknya sekali—tanpa sempat memberi nama. Ayahnya, seorang pemancing yang hidup dari laut, sejak saat itu menjadi satu-satunya yang membesarkan Yoga. Setiap kali ia harus melaut, Yoga selalu dititipkan pada Kakek Robert—seorang pria paruh baya yang menyewakan kapal untuk para nelayan.
Namun segalanya berubah ketika usia Yoga menginjak delapan tahun. Ayahnya tewas terbunuh—dibunuh oleh seorang mata-mata dari Jerman. Sejak hari itu, dunia Yoga seolah runtuh. Ia diasuh sepenuhnya oleh Kakek Robert, tapi luka dalam hatinya tak pernah benar-benar sembuh.
Yoga mulai menutup diri. Ia mengurung diri di rumah, menjauh dari dunia luar. Warga desa berusaha menghiburnya, namun kesedihan telah menutup rapat hatinya. Dalam dua tahun terakhir, hanya Kakek Robert yang mampu mendekatinya. Ia mengajarinya cara memancing, menjala ikan, hingga mendayung kapal. Dan berkat ketekunan dan kasih yang diberikan sang kakek, Yoga tumbuh menjadi bocah yang cekatan di laut.
Namun, dunia belum sepenuhnya ramah padanya. Anak-anak di desa sering mengejek dan menjauhinya. Mereka menganggap Yoga aneh—anak yang tak punya orang tua, terlalu pendiam, dan lebih akrab dengan laut daripada dengan teman sebaya. Tapi Yoga tak membalas. Ia hanya diam. Karena jauh di lubuk hatinya, ia tahu: mereka tak tahu seperti apa rasa kehilangan yang sesungguhnya.
Hari-harinya terus berlalu dalam kesendirian, ditemani angin laut dan debur ombak. Dan dalam tiap senyap malam yang menggantung, Yoga selalu bertanya dalam hati—tentang takdirnya, tentang arti hidup yang terasa begitu sunyi. Kepada Tuhan, ia berbisik dalam diam:
"Mengapa aku harus sendiri?"
Setiap pagi, desa itu terbangun oleh suara deburan ombak. Dengan mata masih mengantuk, Yoga akan berjalan melewati gubuk-gubuk nelayan di pinggir pantai. Angin laut membisik lembut di antara pohon-pohon kelapa. Memancing adalah kegiatannya yang paling ia cintai. Ia tahu setiap hari akan menjadi perjuangan. Jika laut tak memberinya ikan, ia akan pulang dengan perut kosong. Namun bagi Yoga, kelaparan masih lebih baik daripada harus meminta-minta kepada orang desa.
Beberapa orang pernah menawarinya makanan dan tempat tinggal. Tapi Yoga selalu menolak.
"Selamat pagi, diriku sendiri," gumamnya pelan pagi itu. Sudah menjadi kebiasaannya untuk menyapa dirinya sendiri dengan lirih membangun semangatnya sendiri sebelum mengambil tongkat pancing dan berjalan menuju pelabuhan, seperti biasanya.
Namun pagi itu berbeda.
Saat tiba di pelabuhan, matanya membelalak. Deretan kapal asing bersandar di sepanjang pantai kapal-kapal yang belum pernah ia lihat sebelumnya. Bendera putih berkibar di atas tiang-tiang layar mereka.
Orang-orang dengan seragam asing turun dari kapal.
Udara tiba-tiba terasa tegang.
Dari arah menara penjaga, muncul seorang pria bertubuh tinggi mengenakan jubah panjang, diapit oleh beberapa orang bertubuh kekar. Ia melangkah maju dan memperkenalkan diri dengan suara lantang:
"Aku Yereom Deli, walikota Kulsast!"
Di hadapannya berdiri seorang pria yang tampak seperti pemimpin militer. Ia lalu berbicara:
"Aku Tin Quebe. Kami adalah mantan prajurit dari Perang Dunia Kedua. Kami diasingkan dan kini mencari tanah baru untuk ditinggali. Tuhan membawa kami ke sini… di bawah perlindungan Walikota Yereom."
Yereom menatap mereka dengan saksama, lalu bertanya dengan nada tenang namun tegas:
"Dari mana asal kalian?"
Tin Quebe menjawab dengan mantap:
"Jerman."
Sejenak, suasana membeku. Para nelayan mulai berbisik, desas-desus menyebar di antara orang-orang di pelabuhan. Nama itu—Jerman—membuka kembali luka lama: kenangan perang yang menyakitkan.
Rumor mulai beredar. Ada yang mengatakan bahwa pasukan Jerman pernah mencoba merebut Londo. Mereka ingin menculik Jenderal Nail saat puncak Perang Dunia Kedua. Dan kini, keturunan dari bangsa itu justru berlabuh di pelabuhan sederhana milik rakyat biasa.
Udara sore di Londo terasa berat, seolah membawa sisa-sisa ledakan masa lalu yang pernah mengguncang kota itu. Langit abu-abu menggantung rendah, menambah kelam suasana di alun-alun pasar pusat, yang dipenuhi warga gelisah.
"Orang Jerman tak punya tempat di sini!" teriak seseorang.
"Cukup! Kota ini sudah cukup menderita karena mereka!" seru yang lain.
Tin terdiam. Ia tak mampu berkata apa-apa. Ia paham luka itu terlalu dalam untuk dihapus hanya dengan permintaan maaf.
Kerusuhan mulai tumbuh. Bahkan suara walikota pun tenggelam oleh gelombang amarah.
Namun tiba-tiba, dari kerumunan, seseorang melangkah keluar.
Ia mengenakan seragam abu-abu gelap. Posturnya tegap, rambutnya tersisir rapi. Di dadanya, tersemat lencana kecil berbentuk burung hitam.
"Tuan Quebe?" tanyanya sambil berjalan mendekat.
Tin menoleh. Ia belum sempat menjawab saat pria itu berkata singkat:
"Baik."Lalu ia berbalik menghadap warga kota, menatap mereka dengan pandangan tajam.
"Dengar. Dia datang bukan untuk menaklukkan. Ia datang demi sesuatu yang jauh lebih berat: penebusan dosa."
Kerumunan perlahan terdiam. Suara gaduh mulai mereda. Meskipun kecurigaan masih tersisa, mereka memilih untuk diam.
Tin menatap pria itu—seseorang yang nanti akan ia kenal sebagai Galdar—dan untuk pertama kalinya sejak menginjakkan kaki di tanah ini, ia merasakan sesuatu yang menyerupai harapan.
"Apakah anda yakin tuan Galdar, tanya Yereom dengan bisiknya pelan di samping tubuh Galdar, seolah tak percaya dengan suara yang didengarnya.
Galdar menatap langit kelabu. Ia naik ke panggung kayu dan menatap warga yang terdiam. Lalu ia berseru dengan suara keras dan tegas:
"Aku telah menyaksikan betapa perihnya nasib rakyatku. Luka-luka dari masa lalu merenggut banyak nyawa. Bahkan saudaraku, Nail Fernando Zich, gugur tanpa sempat mengucapkan selamat tinggal. Setiap kali aku mengingatnya, rasanya sebagian jiwaku terkubur bersamanya."
Galdar menundukkan kepalanya.
"Lalu… apakah kita pantas melakukan hal yang sama?"
Hening.
Tak seorang pun berbicara. Suasana mendadak sunyi seperti makam.
Dari keheningan itu, terdengar suara seorang anak laki-laki:
"Kalau begitu… bagaimana jika mereka memang berniat menjajah tanah ini?"
Suaranya tajam, seperti pisau kecil yang menyayat dada siapa pun yang mendengarnya.
Orang-orang mulai berbisik. Mereka mengenali anak itu.
Namanya Yoga, seorang yatim piatu yang kehilangan orang tuanya dalam insiden penculikan Jendral Nail. Kerumunan mulai bergumam:
"Hei, bukankah itu anak dari seorang pemuda yang pernah menangkap mata-mata itu?"
Galdar menatapnya lalu berkata.
"Namamu Yoga, bukan?"
Anak itu mengangguk pelan.
"Hei, bukankah ayahmu adalah pria hebat yang berhasil menangkap dalang dari penculikan Jenderal Nail?. Ayahmu seorang pahlawan. Ia menyelamatkan negeri ini. Berbanggalah."
Yoga menatap kosong.
"Apakah menjadi anak dari seorang pahlawan juga membuatku menjadi pahlawan?"
Galdar tersenyum tipis.
"Tidak. Tapi kau adalah bukti bahwa semangat mereka masih hidup."
Dengan wajah serius, Yoga menjawab tenang:
"Kalau begitu…
Bisakah kau menghapus kesepian ini?"
mendengarnya Galdar menjawab dengan tegas."Aku tak bisa menghapus kesepianmu, karena itu adalah pilihanmu," Galdar langsung menghampiri Yoga dan berkata dengan penuh prihatin: "Dengarkanlah, jika kau ingin menghapus kesepian dalan hidupmu, maka hapuslah dengan kekuatanmu, sama seperti yang ayahmu lakukan. Ingat ayahmu adalah pahlawan negri ini dan kamu adalah pahlawan untuk dirimu sendiri."
Kemudian, Galdar kembali menghadap warga yang hening dan berseru:
"Lihatlah ke depan sana! kapal yang mengapung itu, berisi manusia tak berdaya yang membutuhkan pertolongan. Maukah kalian menjadi pahlawan dan pergi menyelamatkan mereka?"
Warga pun tersentuh denagan kata-kata Galdar. Suasa yang awalnya hening berubah menjadi heboh.
"Yaaaaa! Kami adalah pahlawan!" teriak mereka sambil bergegas membantu anak-anak,para keluarga,dan semua yang berada di dalam kapal.
Pada akhirnya, Galdar berhasil meyakinkan semua orang bahwa semuanya akan baik-baik saja.