Cherreads

Chapter 15 - Eps15: Ketika Pilar Runtuh

Hutan Veir yang selama ini sunyi dan sakral kini berubah menjadi jurang menganga. Tanah yang dulu hijau dan harum kini hangus, penuh retakan dan asap hitam yang naik dari celah-celahnya. Di tengah kehancuran itu, berdiri satu sosok berjubah merah darah, tubuhnya tinggi, dan matanya menyala merah seperti bara yang tak pernah padam.

Val’Tharok.

Raja Kegelapan.

Ia mengangkat tangannya. Dari dalam tanah, muncul bayangan-bayangan seperti asap pekat, membentuk tubuh-tubuh tak bernyawa. Mereka adalah Arkaan, pasukan iblis lama yang telah terkubur selama ribuan tahun. Kini, mereka bangkit kembali.

“Bangunlah, anak-anakku,” ucap Val’Tharok, suaranya seperti gemuruh petir yang menyayat langit. “Karena dunia ini telah lupa pada rasa takut. Sudah waktunya kita ingatkan... siapa pemilik kegelapan yang sejati.”

Sementara itu, di ruang strategi di Kota Aurath, suasana begitu tegang.

Peta besar tergelar di atas meja batu. Titik merah menyala menyebar dengan cepat dari wilayah selatan. Tanda bahwa kegelapan bergerak cepat. Terlalu cepat.

“Pilar Selatan sudah hancur sepenuhnya,” lapor Kaelus. “Jika dua pilar lagi jatuh, pertahanan alam akan lenyap. Dan Val’Tharok bisa keluar sepenuhnya ke permukaan.”

Zera menggertakkan gigi. “Kita tidak bisa menunggu! Kita harus menyerang sekarang!”

“Dengan pasukan yang belum pulih? Kita hanya akan menjadi santapan,” jawab Maelya. “Kita butuh... waktu.”

Abbas berdiri di ujung ruangan, diam. Namun tatapannya tidak kosong. Ia sedang berpikir, keras.

“Elira,” katanya tiba-tiba. Semua menoleh. “Kau pernah bilang bahwa Val’Tharok dikurung oleh segel kuno, tapi ada empat pilar yang mengikatnya.”

“Iya,” jawab Elira. “Veir, Aurath, Lirien, dan Narthas. Veir telah hancur. Jika dia menghancurkan satu lagi, segelnya akan melemah cukup untuk menurunkan batas dimensi.”

“Dia akan menyerang Narthas selanjutnya,” tebak Abbas.

Kaelus menoleh. “Kenapa bukan Aurath atau Lirien?”

“Karena Narthas adalah yang paling rapuh secara spiritual,” jawab Maelya. “Dan juga... tempat kelahiran Zhun.”

Semua terdiam.

Beberapa jam kemudian, Abbas dan Elira berada di ruang pelatihan yang dulu sering mereka gunakan.

Meski tubuh Elira belum sepenuhnya pulih, ia tetap berdiri di depan Abbas, menggenggam pedang perak kecil Liris pedang yang ia bentuk sendiri dari pecahan cahaya kuno.

“Aku harus kembali menguasai bentuk seranganku,” katanya. “Aku tak bisa menjadi beban.”

“Kau bukan beban, Elira. Kau... bagian dari alasan aku bertarung.”

Elira menatap Abbas, wajahnya tak menyembunyikan emosi lagi. “Kalau kita gagal... semua ini akan hancur.”

“Tapi kalau kita berhasil, dunia akan punya harapan.”

Mereka mulai berlatih. Tidak dengan kekuatan penuh, tapi cukup untuk mengingatkan otot dan jiwa mereka bahwa peperangan belum selesai. Elira menyerang, Abbas menangkis. Abbas melompat, Elira berbalik dan menusuk dengan cepat.

Keduanya seperti bayangan dan cahaya yang menari dalam keseimbangan.

Malamnya, Abbas berdiri di atas menara tertinggi di kuil. Angin malam membelai wajahnya. Ia menggenggam gagang lampu tua yang dulu membawanya ke dunia ini

Lampu Kehidupan.

Ia menatap ke dalamnya. Tak ada nyala api. Tapi ada gema... gema suara yang dulu nyaris ia lupakan.

“Kau tidak hanya dibawa untuk menyelamatkan dunia ini. Tapi untuk memahami hidup. Dan memilih untuk tetap mencintainya, bahkan ketika semuanya gelap.”

Suara itu... suara Nayla.

Abbas menutup mata. Ia tak bisa menahan air mata yang mengalir pelan. “Aku tidak akan menyerah. Tidak sekarang.”

Tiba-tiba, sebuah tangan menyentuh pundaknya. Elira.

“Besok kita berangkat ke Narthas,” katanya.

Abbas mengangguk. “Kau siap?”

“Bersamamu? Selalu.”

Pagi hari.

Pasukan kecil berkumpul di gerbang timur Kota Aurath. Abbas dan Elira berada di depan, bersama Kaelus, Zera, dan Maelya. Mereka membawa satu tujuan: mempertahankan Narthas, pilar terakhir sebelum segel dunia retak.

Sebelum berangkat, Abbas berdiri di depan pasukan.

“Kita tidak punya jumlah. Tidak punya waktu. Tapi kita punya satu hal yang mereka tidak punya tekad untuk hidup. Dan untuk mencintai dunia ini, meski ia hancur berkali-kali. Jadi kalau kita harus bertarung... bertarunglah untuk itu.”

Teriakan semangat bergema.

Pasukan Cahaya terakhir bergerak menuju Narthas.

Di tempat lain di ruang bawah tanah benteng Narthas Zhun berdiri sendirian.

Ia memandang dinding batu yang dulu ia ukir bersama Elira kecil. Tangan hitamnya menyentuh bekas ukiran itu. “Apa kau masih ingat, Elira? Di sinilah kita pernah bersumpah melindungi dunia ini.”

Ia berbalik, dan di belakangnya... bayangan besar mulai menyelimuti dinding. Val’Tharok muncul dalam wujud semu.

“Saatnya memutuskan, Zhun,” ucap suara raksasa itu. “Apakah kau akan menjadi bayangan... atau terang yang menghancurkan terang lain?”

Zhun memejamkan mata. Di balik semua itu... hatinya masih menyimpan jejak manusia.

Dan jauh di dalam hatinya, Zhun masih mendengar suara kecil dari masa lalu

suara seorang kakak yang pernah bersumpah tak akan menyakiti siapa pun. Tapi apakah suara itu masih cukup keras untuk mengalahkan kegelapan?

More Chapters