Cherreads

Chapter 1 - Apa Dunia Gila ?!

Tahun baru di kota Huacheng selalu dirayakan dengan kegaduhan yang nyaris berlebihan—seolah seluruh penduduknya berlomba-lomba menciptakan kebisingan yang paling meriah demi mengusir nasib buruk.

Lampion merah bergelantungan di sepanjang jalan, kembang api melesat tanpa ritme, dan taman kota dipenuhi orang-orang dengan wajah berseri. Di antara mereka, berdirilah seorang pria bernama Li Wen, usia tiga puluh dua tahun, lajang kronis, dan hidupnya lurus seperti tiang jemuran.

Li Wen tidak memiliki rencana malam itu selain lembur. Ia seorang pegawai logistik di perusahaan ekspedisi yang tidak cukup sukses untuk masuk berita, tapi cukup besar untuk menuntut lembur pada malam tahun baru.

Malam itu, setelah menyelesaikan laporan pengiriman barang yang bahkan tidak ia kirim, ia keluar dari kantor dengan langkah lesu. Map laporan masih di tangan, jaket murahan menempel di badan, dan kantung mata menghias wajah seperti aksesori wajib pria pekerja keras.

Ia berdiri di tepi trotoar, menatap taman kota di seberang jalan. Orang-orang mulai menghitung mundur dengan semangat yang seolah-olah tahun depan akan menghapus semua utang mereka.

Li Wen ikut menghitung dalam hati. Bukan karena antusias, tapi karena tidak ada hal lain yang bisa ia lakukan. Ia menatap ke langit yang dipenuhi kembang api sambil membatin,

"Tahun baru... semoga kali ini ada sesuatu yang berubah. Apa pun. Asal jangan berat badan."

Dan lalu... kejadian itu datang.

Tepat saat suara teriakan "Selamat Tahun Baru!" menggema di seluruh penjuru taman, Li Wen melangkah menyeberang.

Dan sebuah truk datang dari arah kanan.

Cepat. Sunyi. Tidak ada klakson. Hanya cahaya lampu besar dan suara rem yang terlambat.

Li Wen bahkan tidak sempat bersumpah. Yang ia lihat hanya bayangan besi raksasa mendekat dengan kecepatan tak masuk akal.

Lalu tubuhnya terpental.

Dan dunia menjadi gelap.

------

Li Wen membuka mata dengan kepala berdenyut dan tenggorokan kering seperti habis menelan silet tumpul. Bau alkohol medis menusuk hidungnya, dan suara detak mesin terdengar di samping telinganya.

Ia mengerjap. Langit-langit putih. Tirai rumah sakit. Lampu temaram. Jantungnya berdetak pelan dan tubuhnya... terasa aneh.

Ia mencoba duduk. Gerakannya kikuk, tubuhnya terasa ringan tapi asing. Lalu, saat ia menunduk sedikit, alisnya langsung bertaut. Ada yang menonjol dari dadanya.

Ia meraba perlahan.Sekali.Dua kali."Oke, itu bukan tulang rusuk," pikirnya.

Ia menarik selimut, mengintip pelan... dan langsung terdiam.

Payudara. Dua. Ukuran sedang. Simetris.Dan bukan miliknya.

Pintu kamar terbuka. Seorang perawat perempuan masuk dengan langkah cepat. "Nona Shen! Anda sudah sadar?"

Li Wen tidak menjawab. Ia menoleh pelan, masih dalam mode bingung total, matanya lebar seperti ikan mas.

Perawat mendekat, memeriksa tekanan darah otomatis di lengan kirinya, lalu tersenyum sopan. "Bagaimana perasaannya, Nona?"

Li Wen menelan ludah. "Saya... ini di mana?"

"Rumah sakit Huacheng Selatan. Anda sempat tidak sadarkan diri selama dua hari. Tapi sekarang kondisinya sudah stabil," jelas perawat dengan nada profesional.

Li Wen mengangguk perlahan. Kepalanya masih buram. Pertanyaan dalam pikirannya berdesakan seperti antrean di stasiun menjelang mudik.

Ia menatap perawat dengan kening berkerut. "Tadi... Anda memanggil saya siapa?"

"Nona Shen," jawab perawat ramah. 

Li Wen merasa denyut nadi di pelipisnya meningkat.

Perlahan ia berkata, "Nama saya... siapa?"

"Qin Ruoyan," jawab perawat tanpa ragu.

"Kalau begitu... kenapa tadi saya dipanggil Shen?"

"Oh," jawab perawat santai, seperti menjelaskan hal sepele. "Itu marga suami Anda."

Li Wen tidak tahu harus menjawab apa. Otaknya seperti sedang buffering. Ia menatap ke arah jendela, berharap ada jawaban yang tiba-tiba muncul dari langit.

Tidak ada.

Ia hanya mendapati pantulan wajah di kaca: wajah perempuan muda, cantik tapi lelah, dengan rambut acak-acakan dan mata yang masih sayu karena tidur panjang.

Setelah perawat pergi, Li Wen tetap terdiam di ranjang. Ia menatap langit-langit putih di atasnya seolah berharap ada suara dari langit yang berkata, "Selamat, kamu berhasil melewati ujian hidup dan akan segera bangun di tubuhmu yang asli."

Sayangnya, suara itu tidak datang.

Yang datang justru rasa perih di tulang punggung dan kenyataan bahwa setiap gerakan kecil membuat bagian dadanya ikut... bergoyang.

"Ini pasti semacam prank kosmis," gumamnya pelan, setengah tak percaya. "Atau aku dikutuk karena terlalu sering tidur pakai kaus kaki basah."

Ia menunduk pelan, menatap dadanya, masih ada. Dua gundukan itu tampak... menetap. Ia menghela napas panjang, lalu menarik selimut lebih tinggi sampai ke dagu, seolah-olah kain tipis itu bisa menyembunyikan kenyataan.

Ia mencoba mengingat. Terakhir kali ia sadar, ia berada di jalan raya. Menyeberang. Lalu...

Truk.

Jantungnya berdetak lebih kencang. Ia tidak ingat detailnya, tapi rasa kaget itu nyata. Lalu gelap. Dan sekarang... terang kembali. Tapi dengan tubuh berbeda.

Dengan tangan yang masih gemetar, ia menoleh ke meja di sisi ranjang. Ada sebuah ponsel.

Ponsel itu seperti kotak Pandora tapi lebih ramping dan berwarna pastel.

Ia ragu sejenak, lalu mengambilnya. Layarnya menyala begitu disentuh. Tidak ada sidik jari, tidak ada sandi. Terbuka begitu saja, seperti sedang mengundang kebingungan lebih lanjut.

Latar belakangnya adalah foto seorang perempuan cantik dengan riasan sempurna dan senyum yang terlalu simetris. Wajah itu... wajah yang sekarang ada di balik tulang pipinya sendiri.

Li Wen berkedip beberapa kali. "Ini aku? Aku? Aku yang sekarang? Oh tidak. Oh tidak, tidak, tidak..."

Ia membuka galeri. Kesalahan besar.

Foto selfie. Foto makanan. Foto dengan pose bibir dimonyongkan, dagu dimiringkan, dan tangan membentuk simbol hati yang membuat perutnya mual.

"Sejak kapan aku bisa... memelintir pergelangan tangan ke arah itu?" katanya, setengah heran setengah ngeri.

Scroll. Scroll.

Lebih banyak foto. Ada yang mengenakan gaun mahal. Ada yang sedang makan malam dengan lilin dan bunga. Ada juga yang berpose dengan... seorang pria yang wajahnya tidak kelihatan jelas selalu blur atau hanya tampak sebagian.

Li Wen membesarkan salah satu foto. Yang terlihat hanya bagian tangan seorang pria jam tangan mewah, jari panjang, dan semacam aura mahal yang membuat Li Wen refleks menghela napas.

Ia mencoba mencari keterangan di caption, tapi semuanya ditulis dalam bahasa yang menurutnya setengah puitis, setengah kode nuklir.

"Yang mencintai tak perlu alasan, yang bertahan tak selalu menang. Ada kita dalam diam, bahkan saat badai. 🌹💋💍 #NotJustAPhase"

Li Wen menatap layar ponsel itu dengan ekspresi kosong. "Oke. Aku mungkin bukan siapa-siapa... tapi yang nulis ini jelas punya masalah literasi."

Ia meletakkan ponsel perlahan. Kepalanya pening. Ia kembali berbaring, menatap langit-langit, lalu mendadak teringat sesuatu:

"Kalau aku di tubuh orang lain... tubuhku yang asli... di mana?"

Dan saat pikiran itu menghantam, perutnya langsung mual.Bagaimana kalau tubuhnya benar-benar sudah tiada?Bagaimana kalau tidak ada jalan balik?

Ia menutup mata rapat-rapat.Tidak. Tidak boleh panik.Panik adalah musuh.Ia harus... pura-pura tenang.

Ia menarik napas dalam-dalam. "Oke. Fokus. Nama baru: Qin Ruoyan. Status: menikah. Tubuh: bukan milikku. Ingatan: lengkap, tapi tidak membantu. Identitas: kabur."

Ia menatap cermin kecil di seberang ranjang.

Wajah cantik itu menatap balik.Dan ia, dengan suara pelan dan getir, berkata,

"Siapa sih, Dia (QRN) sebenarnya?"

Li Wen baru saja akan mencoba tidur lagi atau minimal mematikan otaknya untuk lima menit, ketika suara ketukan terdengar dari arah pintu.

Tok. Tok. Tok.

Ia menoleh cepat. Napasnya langsung pendek."Siapa lagi? Perawat? Dokter? Agen asuransi jiwa?"

Pintu terbuka perlahan.

Yang masuk bukan perawat. Bukan dokter. Bukan siapa pun yang ia siap hadapi.

Seorang pria tinggi, gagah, dengan setelan hitam rapi masuk begitu saja. Wajahnya... sempurna. Dalam standar manusia, agak menyebalkan. Dalam standar sinetron, pria ini tipe "CEO sarkastik yang tidak bisa jatuh cinta kecuali dipaksa skenario." dan tampak familiar.

Li Wen membatu. Dahinya langsung berkeringat.

"Tidak mungkin."

Pria itu mendekat perlahan. "Sudah sadar," ucapnya datar, seperti sedang menilai kondisi mesin, bukan manusia.

Li Wen menelan ludah. Setengah bergumam, setengah tercekik kenyataan, ia berbisik,"…Shen Zeyu?"

Pria itu menatapnya, alisnya sedikit terangkat. 

Li Wen langsung ingin membenamkan kepala ke bantal dan pura-pura pingsan lagi. Tapi tubuhnya terlalu kaku, dan jantungnya berdetak terlalu cepat untuk sekadar pura-pura mati.

Shen Zeyu.

Wajah yang tak asing. Terlalu akrab. Terlalu menyebalkan.

Rival masa mudanya. Anak konglomerat yang terlalu sempurna untuk jadi nyata. Nilai selalu di atas, gaya selalu meyakinkan, dan wajah yang sayangnya terlalu fotogenik untuk dibenci tanpa usaha ekstra.

Mereka tidak pernah cocok.Dari lomba debat hingga rebutan kursi OSIS, dari pemilihan ketua angkatan sampai... urusan cinta.Persaingan mereka bukan soal bertahan hidup, tapi soal harga diri.Dan meski dunia mereka berbeda kelas sosial, Li Wen selalu merasa:"Asal dia bisa, aku juga bisa!" meski harus ngos-ngosan sendiri.

Dan sekarang?Rival itu berdiri di hadapannya.Dengan mata tajam, jas mahal, dan entah bagaimana caranya status suami dari tubuh yang sedang ia tempati.

Li Wen menatapnya, mata membelalak."Tidak... tidak... dari seluruh umat manusia kenapa harus kamu?"

Shen Zeyu hanya menatap balik, tenang dan tak tergoyahkan. "Kau terlihat terlalu kaget."

Li Wen menatap balik, masih membeku seperti udang beku premium.Ia membuka mulut, lalu menutupnya lagi. Otaknya butuh restart.Akhirnya, dengan suara nyaris tidak terdengar, ia bergumam

"Percayalah… kejutan ini bukan level rumah tangga. Ini… level kiamat pribadi."

Sebelum Li Wen sempat berkata apa pun, suara kecil dan riang terdengar dari lorong.

"Ma! Ma! Maaaa!"

Tiba-tiba, seorang balita berlari masuk. Gembul, menggemaskan, dengan pipi seperti bakpao dan suara seperti lonceng kecil. Anak itu langsung berlari ke arahnya bukan ke pria tinggi itu dan memeluknya dengan penuh semangat.

"Mama bangun!" katanya penuh antusias, lalu menempelkan pipinya ke lengan Li Wen.

Li Wen beku. Kaku. Matanya nyaris keluar dari tempatnya.

Mama?

MAMA?

Ia menoleh ke pria tampan itu, berharap ada koreksi, klarifikasi, atau minimal tawa "eh salah orang."

Tidak ada.

Li Wen menatap anak kecil di pelukannya. Anak itu sudah duduk manja di sampingnya dan memeluk lengannya dengan manja, tanpa tahu bahwa yang ia peluk adalah seorang pria lajang yang bahkan belum pernah memegang bayi terlalu lama karena takut terjatuh.

Dengan suara pelan dan penuh kehancuran batin, Li Wen menjawab,

"…Siapa ini?"

Pria itu mengerutkan kening. "Anak kita."

Li Wen langsung berteriak dalam hati."Tolong... kalau ini mimpi, bangunkan saya. Kalau ini nyata, kirim tombol keluar darurat sekarang juga."

More Chapters