Di dalam ruang kerja CEO RIC Group, Rico tengah meneliti tumpukan berkas yang tersusun rapi di mejanya. Sejak beberapa hari terakhir, performa Mia sebagai asisten pribadi sungguh luar biasa. Masalah-masalah krusial yang mengancam stabilitas perusahaan satu per satu berhasil diurai oleh strategi Mia yang jitu. Rico menghela napas panjang—jika bukan karena Mia, mungkin RIC Group sudah tenggelam dalam kerugian besar.
Tiba-tiba, pintu ruangannya terbuka kasar.
Ryu menerobos masuk dengan wajah tegang dan luka sobek di sudut bibirnya. Napasnya memburu, matanya liar menyapu seisi ruangan.
Rico langsung berdiri dari kursinya. “Ada apa denganmu?” tanyanya heran sambil menghampiri Ryu. “Wajahmu kenapa?”
Namun, Ryu tidak menjawab. Ia malah balas bertanya dengan nada mendesak. “Di mana dia?”
“Maksudmu siapa?” Rico semakin bingung melihat sikap Ryu yang tidak biasa.
Ryu tak menjawab. Ia mulai membuka-buka berkas yang ada di meja Rico, mencarinya dengan kasar dan tak peduli pada dokumen penting yang tercecer.
“Hei! Apa yang kamu lakukan? Itu dokumen penting!” hardik Rico kesal. “Kamu sudah gila?”
“Aku yakin kau menyembunyikannya di sini!” geram Ryu, matanya penuh amarah.
Ia melangkah cepat dan menjatuhkan tubuhnya ke kursi besar Rico. “Wanita itu... Mia! Dia bersamaku semalam. Dan sekarang dia hilang. Di mana dia?!”
Rico menegang. “Dia tidak masuk kerja hari ini,” jawabnya waspada. “Harusnya aku yang bertanya padamu—apa yang kamu lakukan kepadanya sampai dia menghilang?”
“Jangan membalikkan keadaan, Rico!” bentak Ryu. Ia berdiri dan tiba-tiba mencengkeram kerah kemeja Rico. “Jangan coba-coba menyembunyikannya dariku! Katakan sekarang! Di mana Mia?!”
Wajah Rico mengeras, tapi dia tetap tenang. “Lepaskan aku, Ryu. Kalau kau ingin tahu keberadaan Mia, kita harus mencarinya bersama, bukan dengan cara seperti ini.”
Rico berdiri di tengah ruangan yang kini berantakan. Dokumen-dokumen penting berserakan, beberapa jatuh ke lantai, sebagian bahkan terinjak oleh sepatu mahal Ryu yang seenaknya masuk dan mengacak-acak.
“Sudah aku bilang, dia tidak ada di sini!” bentak Rico kesal. “Untuk apa aku sembunyikan wanita culun itu? Kalau tidak percaya, silakan geledah seluruh gedung RIC Group! Tapi jangan sentuh lagi dokumen-dokumen pentingku!”
Ryu menarik napas panjang, menahan emosinya yang sudah menggelegak.
“Baiklah,” katanya dengan suara dingin. “Kalau memang dia tidak di sini, aku minta datanya.”
Rico mengernyit, menatap sahabatnya itu dengan bingung. “Data?”
“Ya. Data tentang Mia. Bukankah perusahaanmu menyimpan informasi pribadi setiap karyawan?” desak Ryu. “Berikan padaku sekarang.”
Rico bersedekap, menatap tajam. “Tunggu, Ryu. Ini bukan gayamu. Biasanya kamu tinggal nyuruh anak buahmu kalau mau cari orang. Tapi sekarang kamu datang sendiri, penuh luka, dan mengacak-ngacak ruanganku hanya karena satu wanita?”
Ryu tak menjawab langsung. Matanya terlihat lelah.
“Aku sudah cari ke mana-mana. Tapi jejak Mia... hilang. Seperti dikunci,” gumamnya akhirnya. “Database, profil media sosial, bahkan foto lamanya pun seperti lenyap. Seolah-olah... seseorang sengaja menghapus jejaknya.”
Rico mulai serius mendengar penjelasan itu.
“Biasanya kalau seseorang menutupi data sampai sebersih itu... dia pasti dilindungi seseorang yang sangat berkuasa,” lanjut Ryu, suaranya mulai rendah, penuh curiga.
Rico mengalihkan pandangan, menyembunyikan keterkejutannya. Dalam hatinya, ia tahu hanya satu orang yang bisa melakukannya: Pak Biromo.
Tapi Rico memilih bungkam.
“Aku harus menemukannya,” tegas Ryu. “Dan aku akan terus cari, bahkan jika harus mengguncang seluruh kota.”
Di ruang kerja Rico, suasana kembali hening setelah kepergian Ryu yang sempat mengacak-ngacak ruangan. Rico duduk sambil memandangi pintu yang baru saja tertutup rapat.
"Apa yang dilakukan wanita culun itu… sampai Ryu harus mencarinya sendiri dengan penuh amarah?" gumam Rico sambil memainkan pulpen di tangannya. “Berani sekali dia sampai bisa menyinggung pria seperti Ryu. Besar sekali nyalimu, Mia.”
Rico menghela napas panjang sebelum kembali menunduk ke tumpukan dokumen.
“Perusahaanku tidak menyimpan data lengkap tentang Mia,” lanjutnya, seolah masih berbicara pada bayangan Ryu yang sudah pergi. “Nomor ponsel, alamat rumah—aku tak tahu. Karena dia bukan karyawan biasa, dia direkomendasikan langsung oleh ayahku sebagai asisten pribadiku.”
Ia menatap kosong, kemudian berkata dengan nada lebih tenang, “Kalau kamu benar-benar ingin tahu tentang dia… temuilah ayahku.”
Beberapa menit kemudian, Ryu melangkah keluar dari gedung RIC Group dengan tergesa-gesa. Wajahnya tegang, langkahnya berat. Ada satu hal yang ingin ia pastikan—apa motif Mia sebenarnya?
“Wanita ini benar-benar pintar menyembunyikan diri. Siapa yang membantunya, hah? Sampai aku bahkan tak bisa melacak datanya sama sekali,” geram Ryu sambil menyalakan mobilnya dan melaju ke tengah keramaian kota.
“Pasti dia yang menaruh obat di minumanku malam itu... supaya bisa tidur bersamaku,” gumamnya dengan amarah yang mendidih. “Awalnya memohon-mohon minta bantuan, lalu tiba-tiba menghilang dan membawa benihku di dalam dirinya... Dasar wanita licik.”
Ryu mempercepat laju mobilnya. Tujuannya jelas: rumah keluarga Biromo.
---
Sementara itu, di rumah keluarga Xiao…
Suasana tegang terasa di ruang tamu. Suara tamparan keras menggema di seluruh ruangan.
Plak!
“Ke mana saja kamu semalaman sampai tidak pulang?” teriak Pak Jerry, matanya menyala penuh amarah.
“Bukan urusanmu,” jawab Mia ketus, berjalan meninggalkan ruang tamu menuju kamarnya.
Plak!
Tamparan kembali mendarat di pipinya.
“Kurang ajar!” teriak Pak Jerry semakin marah.
Agnes yang berdiri tak jauh dari sana langsung mengambil kesempatan.
“Pasti Kakak semalam pergi berkencan dan tidur bersama pria itu,” ucapnya dengan suara sedih, pura-pura menangis. “Padahal aku sudah memohon agar Kakak tidak meninggalkanku… Tapi Kakak malah memilih menemani pria itu dan membiarkanku sendirian di klub malam.”
“Dan aku nyaris diserang pria tak dikenal!” tambah Agnes sambil terisak. “Aku harus lari sekuat tenaga untuk menyelamatkan diri…”
Plak! Plak!
Tamparan demi tamparan kembali mendarat di wajah Mia. Tapi kali ini Mia tak diam.
“Tampar saja aku, Ayah! Kalau kamu belum puas, teruskan! Tapi dengarkan ini—rumah ini bukan milik kalian. Ini warisan dari mendiang Mama, dan suatu hari nanti... rumah ini akan menjadi milikku!” teriak Mia dengan suara bergetar menahan luka dan emosi.
“Usir aku kalau kau mau! Tapi suatu hari nanti kalian semua akan tahu siapa yang benar!”
Pak Jerry terdiam, tapi amarahnya masih membara.
Tiba-tiba Mia melangkah maju ke arah Agnes—matanya tajam, wajahnya memerah.
Plak! Plak! Plak! Plak!
Tamparan demi tamparan mendarat di pipi Agnes yang terkejut.
“Itu untukmu! Untuk semua fitnahmu! Kamu kira aku tak berani melawanmu di depan Ayah?! Kamu salah besar, Agnes! Aku tidak akan diam lagi!”
Agnes terhuyung ke belakang, tak percaya.
Mia menatapnya dengan penuh amarah, lalu berkata dengan suara bergetar, “Kalian sudah terlalu lama menginjak-injak aku. Tapi tidak lagi… Aku akan lawan!”
Bu Yanti yang melihat Agnes ditampar tanpa ampun langsung melesat ke arah Mia.
Wajahnya merah padam menahan amarah, matanya menyala tajam seperti hendak memangsa.
“Kurang ajar!” teriaknya sambil melayangkan tangan ke leher Mia.
“Berani tangan kotormu menyentuh Agnes!”
Tangan Bu Yanti mencengkeram kuat leher Mia, mencengkeram dengan kebencian yang sudah lama ia simpan. Mia terkejut, tubuhnya spontan memberontak, tapi cengkeraman itu begitu kuat, membuatnya sulit bernapas.
“Mah! Lepas! Bagaimanapun juga... Mia itu anakku!” teriak Pak Jerry panik, berusaha menarik lengan istrinya.
“Jangan bunuh dia! Lepaskan tanganmu sekarang!”
Namun Bu Yanti menepis tangan suaminya kasar, seolah tidak mendengar apapun.
“Minggir!” desisnya penuh racun. “Dia sudah berani menyakiti anakku—maka dia harus mati! Biar dia menyusul ibunya yang hina itu!”
Tangan Bu Yanti semakin erat mencengkeram. Mata Mia membelalak, nafasnya terengah-engah. Suara dari tenggorokannya nyaris tak terdengar.
Tangannya meraih-raih udara, mencoba melepas cekikan, tapi tenaganya melemah.
Lantai di bawahnya mulai bergoyang dalam pandangannya. Segalanya kabur. Nafasnya seperti tersangkut di tenggorokan. Lalu...
Tubuh Mia lunglai.
Matanya terpejam. Tangan dan kakinya jatuh lemas, tak lagi melawan. Ia tak bergerak.
Pak Jerry terdiam, napasnya tercekat.
Bu Yanti masih mematung dengan tangan menggantung di udara, hingga ia sadar: Mia tak bergerak.
Dengan wajah terkejut, ia melepaskan cekikannya dan tubuh Mia langsung terjerembab ke lantai dengan suara duk yang menggetarkan seluruh ruangan.