Lana
Tiba-tiba, genggaman itu terlepas.
Amarta menarik tangannya, seolah baru tersadar dari sesuatu yang dalam—entah mimpi buruk atau mantra gila yang tidak kupahami. Ia mundur beberapa langkah dengan wajah pucat, lalu...
Membungkuk.
"Maafkan aku... Maafkan aku..." katanya lirih, tapi terburu-buru. "Yang Mulia... Yang Terpilih... Ampuni aku…"
Aku membeku di tempat. "Apa?"
Amarta kembali membungkuk. Satu kali. Dua kali. Tiga kali. Semakin dalam. Suaranya gemetar, namun terdengar takzim.
"Yang Terpilih... Manusia yang terpilih...manusia yang terpilih... Aku… aku seharusnya menyambutmu dengan cara yang lebih pantas."
"Apa yang kau bicarakan?" Aku mengerutkan alis, menatapnya lekat-lekat. "Amarta, kau barusan nyaris... dan sekarang malah menyembahku? Apa ini semacam... akting buruk? Atau memang kau betulan gila?"